Sunday, January 22, 2012

NoveL "The Moon Embracing The Sun" Bab I





Pada suatu sore di musim gugur, Yi Hwon dan pengawal pribadinya, Woon, menemukan pohon besar sebagai tempat berteduh dari hujan yang sangat lebat. Hwon sedang menyamar, hanya mengenakan busana bangsawan biasa. Sementara penampilan Woon tak dapat dibantah, ia adalah seorang pendekar. Rambut panjangnya terikat rapi dengan kedua pedang panjang tersampir di punggung dan pinggangnya.

Kedua pria itu berada jauh dari desa terdekat, dan hujan sepertinya tak akan berhenti dalam waktu dekat. Tiba-tiba Hwon melihat sebuah gubuk kecil di kaki gunung dan memutuskan kalau mereka akan berteduh di tempat itu sampai hujan usai.

Tanpa menunggu jawaban Woon, seperti kena sihir, Hwon berjalan cepat menuju rumah itu. Tak ada pilihan lain bagi Woon selain mengikutinya.

Setibanya di depan gerbang, langkah Woon terhenti karena melihat ada sebilah tiang panjang menancap di pintu gerbang. Woon menyarankan agar Hwon tak memasuki rumah itu, karena rumah itu didiami oleh seorang shaman.

Namun tiba-tiba seorang wanita (yang nanti kita kenal dengan nama Seol) muncul dan membuka pintu.

“Tunjukkan siapa dirimu!”

“Aku tak tahu harus berkata apa. Dalam situasi seperti apa seorang tuan rumah harus menunjukkan jati dirinya pada tamunya? Bukankah seharusnya aku yang harus menanyakan hal itu?”

“Untuk apa seorang wanita memiliki sebuah pedang?”

“Mengagumkan. Bagaimana kau tahu kalau aku memiliki pedang? Seperti dugaan.. Oh! Bukan itu maksudku. Ehm.. Tuanku Putri memintaku untuk mengundang kalian untuk masuk.”

“Aku tanya sekali lagi, mengapa kau harus memiliki pedang?” tanya Woon kembali.

“Di tempat terpencil seperti ini, dua orang wanita tinggal sendirian. Bukankah sudah sewajarnya kami memiliki setidaknya sebuah pedang? Pertanyaan yang bodoh. Jadi, kalian mau masuk atau tidak?”

Walaupun Hwon ingin masuk, tapi ia tak dapat memaksakan kehendaknya karena Woon. Tapi sepertinya Seol sudah tahu kalau tamunya ragu-ragu, maka iapun melanjutkan, “Tuanku Putri berkata kalau para tamu pasti tak akan mau masuk, maka ia bertanya, ‘Apa bedanya jika berteduh di bawah atap pintu masuk rumah seorang rendahan dengan berada di sebuah ruangan yang hangat dan nyaman?”

Kata-kata itu menjadi alasan yang tepat bagi Hwon untuk memaksakan dirinya masuk ke dalam rumah. Seol mengantar tamunya ke sebuah ruang kosong. Ruangan itu beraroma wangi bunga anggrek dan di lantai terdapat sebuah meja kecil dengan minuman dan makanan di atasnya. Di samping meja, ada anglo yang menyapa hangat para tamu, seakan-akan mereka memang diharapkan datang.  Namun selain itu, ruangan itu tak ada bedanya dengan ruangan biasa, dan tak memiliki ciri-ciri yang menunjukkan kalau rumah itu dimiliki oleh seorang shaman. Bahkan ruangan itu malah mirip dengan ruangan seorang pria, seorang pelajar, karena di di rak buku terdapat banyak buku literatur (Konfusius) seperti Refleksi dari Lima Kitab dan Pertanyaan pada Ajaran Agung.

Mendengar wanita, yang dipanggil Tuanku Putri oleh Seol, memasuki ruang sebelah, Hwon kembali duduk di lantai. Ruang sebelah hanya dipisahkan oleh sebuah pembatas ruangan sehingga Hwon hanya dapat melihat siluet anggun seorang wanita yang ada di depannya. Rambutnya terkepang dan diikat dengan sebuah daengi (pita), menunjukkan kalau wanita itu belum menikah.

Dari ruang sebelah, wanita itu memberi hormat dengan membungkuk sekali padanya, namun ia kemudian membungkuk lagi. Dalam tata cara tradisional, dua kali penghormatan berarti memberi hormat pada orang yang sudah meninggal. Hwon dan Won mengerutkan kening, tak suka dengan tindakan wanita itu yang kurang ajar.Tapi kemudian wanita itu membungkuk lagi, membuat bingung kedua pria yang ada dihadapannya (Tiga kali penghormatan berarti memberi hormat pada Budha). Dan betapa terkejutnya Hwon dan Won karena wanita itu membungkuk sekali lagi, penghormatan yang ditujukan pada seorang raja.  Setelah penghormatan yang terakhir, wanita itu menempelkan keningnya ke atas lantai, dan membungkukkan tubuhnya serendah mungkin.

“Angkat wajahmu.”

Wanita itu perlahan-lahan mengangkat badannya, dan dengan lembut menangkupkan kedua tangan di atas lutut kirinya. Hwon masih belum dapat melihat jelas wajah wanita itu. Ia bertanya pada wanita itu, mengapa ia memberi empat kali penghormatan padanya. “Apakah kau tak dapat menghitung?”

“Saya hanya ingin memberi penghormatan yang selayaknya pada matahari.”

Mendengar suaranya yang indah, Hwon sesaat kehilangan kata-kata.

“Apa yang kau maksud dengan matahari? Bagi seorang wanita, matahari adalah suami.”

“Seorang wanita juga rakyat Joseon.”

Hwon tak dapat berucap lagi. Jelas wanita ini mengetahui kalau ia adalah seorang raja. Kemudian, wanita itu meminta Hwon untuk meminum minuman yang telah ia persiapkan.

Hwon jadi semakin ingin tahu wajah wanita itu dan memintanya untuk memperlihatkan wajahnya. Tapi ketika wanita itu tak menjawab, malah tetap mempersilakan Hwon untuk minum, Hwon memerintahkan Woon untuk memindahkan pembatas itu. Dengan sekali tebas, pembatas yang memisahkan ruangan mereka terjatuh ke lantai. Dan seakan-akan pedang tajam Woon juga membelah awan hujan di langit, cahaya bulan tertumpah sehingga memenuhi ruangan.

Sekali lagi Hwon terkesima akan kecantikan wanita itu yang sangat mempesona, tapi ia menutupinya dengan kemarahan.“Tak peduli seberapa rendah tamu yang datang, adalah kewajiban tuan rumah untuk memperlihatkan diri dan menyambut saat tamu memasuki rumah. Mengapa kau tak mematuhi perintahku?”

“Walaupun status sosial saya adalah terendah dari yang rendah, berdasarkan takdir langit, saya adalah seorang wanita. Saya gagal melaksanakan kewajiban saya sebagai tuan rumah karena saya melaksanakan kewajiban saya sebagai seorang wanita (yaitu menjaga jarak dengan pria).

“Kau mengikuti aturan itu walau kau bukan wanita bangsawan?”

“Saya tak pernah mendengar sebuah undang-undang yang melarang seorang wanita rendahan tak boleh mengikuti aturan para wanita bangsawan.”

Hwon tertawa sembari meraih sebotol arak. Ia tak pernah menemui seorang wanita yang tak takut untuk mengungkapkan perasaannya dengan penuh rasa hormat tapi juga penuh percaya diri pada Raja. Hwon menuangkan minuman untuk  Woon, tapi Woon tak melihat gelas itu dan tetap menatap lantai, mengisyaratkan kalau ia tak dapat minum saat sedang bertugas mengawal raja.

Melihat hal ini, wanita itu berkata, “Betapa tak bertanggung jawab kau ini. Kau tak tahu siapa aku dan minuman apa yang aku sajikan, dan kau malah menolak minuman itu? Apa kau mengawal Raja hanya dengan pedangmu saja?”

Mendengar kata-kata itu, Woon tak punya pilihan lain kecuali meminumnya. (Seperti kebiasaan minum di Korea) Ia menolehkan kepalanya ke samping, dan matanya bersirobok dengan mata wanita itu.

Hwon ingin tahu bagaimana wanita itu bisa mengenalinya sebagai Raja.

“Hamba ingin bertanya pada Paduka. Jika sebuah matahari bersinar di langit malam, apakah itu sebuah matahari, atau sebuah bulan?”

Hwon tak menjawab dan wanita itu pun melanjutkan, “Matahari adalah matahari, dimanapun ia berada. Begitu juga dengan Paduka.”

“Tapi tak seorang pun di desa mengenaliku. Jadi bagaimana kau bisa?”

Ketika wanita itu tak menjawab, Hwon bergumam pada dirinya sendiri, “Meja dan anglo ini sudah dipersiapkan sebelumnya. Apakah aku dihantui oleh sebuah roh?”

Setelah berpikir sejenak, wanita itu menjawab kalau ia mengenalinya dari pedang yang dibawa oleh Woon, karena Seol memiliki cukup banyak pengetahuan tentang pedang.

“Seol memiliki mata yang hebat. Dari kejauhan dan kegelapan, ia mampu melihat pedang yang dibawa oleh pengawal Raja. Tidak, ia bahkan dapat mengetahui sebelum melihatnya. Apakah aku sedang digoda oleh hantu?” Hwon tetap memandang wanita itu dan berkata, “Kemarilah. Duduk di ruangan sebelah membuatku tak mampu melihat apakah kau menyembunyikan kesembilan ekormu atau tidak.”

Wanita itu sedikit ragu, namun ia berjalan menuju ruangan dimana Hwon dan Woon duduk. Dan ia pun duduk kembali.

“Apakah kau hantu .. atau  manusia..?”

“Orang-orang mengatakan kalau saya bukan manusia.”

“Jadi kau benar-benar seorang hantu?”

“Mungkin. Saya adalah sebuah jiwa dengan kesedihan yang dalam.”

“Apakah kau mempermainkanku? Bagaimana mungkin seorang hantu memiliki bayangan?”

“Saya tak berbohong. Bukankah seorang shaman memiliki derajat lebih rendah dari seorang manusia budak? Jadi saya tak berani mengatakan kalau saya adalah seorang manusia.”

“Seorang shaman..  Kau adalah seorang shaman. Jadi kau sudah mengetahui kedatanganku.”

“Tidak, Paduka. Walaupun saya seorang shaman, saya tak dapat meramal atau membaca pikiran orang. Saya adalah seorang shaman tanpa kemampuan seperti itu.”

“Memang ada jenis shaman seperti itu?”

“Saya malu untuk mengakuinya, tapi memang ada jenis shaman seperti itu. Menjalani hidup seperti ini, di tempat ini,  adalah sebuah cara untuk memperpanjang hidup.”

“Kau berbicara tapi aku tak memahami ucapanmu.  Woon, apakah kau pernah mendengar hal semacam ini?”

Woon melirik wanita itu kemudian menunduk kembali, menandakan kalau ia juga tak pernah mendengar hal seperti itu. Hwon yang bingung kemudian bertanya lagi, “Apakah kau benar-benar seorang shaman?”

“Tak mampu mengakhiri hidup, saya hidup sebagai shaman. Saya tak bisa hidup sebagai manusia, tapi  sebagai shaman maka saya bisa tetap hidup.”

Melihat wanita itu berbicara dengan tenang, Hwon malah merasakan kepedihan yang mendalam. Iapun bertanya kembali, “Siapa namamu?”

“Saya bukan siapa-siapa.”

“Aku bertanya siapa namamu.”

“Ada hukum yang tegas. Di depan raja, semua orang tidaklah penting. Mohon ijinkan saya untuk memperkenalkan diri sebagai bukan siapa-siapa.”

Hwon yang frustasi mengeraskan suaranya. “Kurang ajar! Beraninya kau membuatku mengulang perintah. Aku bertanya sekali lagi. Siapa namamu? Jika kau manusia, kau pasti memiliki nama keluarga dan nama lahir. Jika kau bukanlah seorang hantu, katakan namamu.”

“Nama keluarga diberikan pada orang yang memiliki ayah. Nama lahir adalah nama yang diberikan pada orang yang memiliki ibu. Karena saya tak memiliki ayah ataupun ibu, maka sayapun tak memiliki nama. “

“Maksudmu, kau tak bernama?”

“Saya.. telah hidup tanpa sebuah nama.”

“Menyebalkan sekali. Apakah kau mempermainkanku lagi?”

“Saya sudah mengatakan kalau saya tak akan berbohong.”

“Aku pernah mendengar kalau setiap shaman mempunyai ibu wali. Bagaimana ibu wali memanggilmu?”

“Ibu wali tak pernah memanggil saya dengan sebuah nama.”

“Bagaimana mungkin?”

“Khawatir akan nasib yang akan mengikat kami karena sebuah nama, maka ia tak pernah memberi nama.”

“Berapa umurmu?”

“Karena saya tak pernah menghitung tahun, maka saya tak dapat menjawab.”

“Berapa tahun kau tinggal di sini?”

“Sangat lama sekali. Saya hidup terperangkap di sini untuk waktu yang sangat lama.”

“Tapi dialekmu bukan seperti orang asli daerah ini. Dialekmu seperti orang yang berasal dari Hanyang (ibukota Joseon) jadi kau pasti bukan asli dari daerah ini. Sebelum tinggal di sini, kau pasti memiliki identitas, kan?”

Mata wanita itu tak dapat menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Tapi suaranya tetap tenang.

“Itu adalah kisah masa lalu yang sayapun tak dapat mengingatnya.”

Dalam kemarahannya, Hwon membanting gelas araknya ke atas meja. “Aku sudah bertanya banyak padamu, dan satupun tak kau jawab!”

“Saya telah memberi banyak jawaban pada Paduka, tapi satupun tak Paduka akui.”

“Dan apa yang telah kau jawab? Namamu? Umurmu? Kau bahkan tak menjawab jenis shaman seperti apa kau ini! Apakah kau benar-benar seorang shaman?”

“Jika Paduka tetap menganggap kalau jawaban saya tak memuaskan, apakah saya harus berbohong pada Paduka? Jika saya berbohong, apakah jawaban itu dapat memuaskan Paduka?”

Hwon melanjutkan minum dan tanpa berkata-kata. Sesaat kesunyian merayapi ruangan. Ia kemudian melanjutkan, “Tempatmu duduk masih terlalu jauh. Kemarilah mendekat.”

Wanita itu berjalan dua langkah mendekati Hwon dan duduk kembali.

“Masih terlalu jauh. Kemarilah lebih dekat lagi.”

Akhirnya wanita itu mendekat hingga jaraknya hanya seperlengan dari Hwon dan ia duduk kembali. Walaupun bagi Hwon jarak itu masih terlalu jauh, tapi ia membiarkannya. Sudah tak ada jarak lagi bagi wanita itu untuk duduk lebih dekat. Di hadapan Hwon, nampak wajah putihnya, lebih putih dari giok putih. Ia memiliki bulu mata yang lentik dan bola mata yang pekat. Di hadapan Woon terlihat sisi samping wanita itu. Walaupun sebuah wajah dapat berdusta, tapi tidak dengan postur tubuhnya. Dan bagi Woon, kesedihan wanita itu nampak kentara sekali. Agar tak melihat wanita itu, Woon menundukkan kepala dan menutup matanya. 

Sambil menghela nafas panjang, Hwon bertanya, “Apakah kau dapat melihat bagaimana hatiku mengalir padamu?”

“Karena hanya ada setitik sinar rembulan, saya tak mampu melihatnya.”

“Kau tak mampu melihat atau tak mau melihat? .. Tak dapatkah aku merengkuhmu? (Catatan : merengkuh di sini bisa dikonotasikan secara seksual)

“Karena khawatir hati Paduka akan berat meninggalkan tempat ini, saya akan tetap mengikat erat pita (baju saya)”

“Aku tak akan meninggalkan hatiku. Karena aku akan membawamu kembali. Jadi apakah kau mengijinkanku untuk menyentuhmu?”

“Saya tak dapat pergi. Saya terikat dengan tempat ini.”

“Aku, Rajamu, telah mengatakan akan membawamu pergi. Walaupun kau tak dapat pergi, kau harus mengikutiku.”

“Di bawah langit, ada hal yang bisa disatukan, dan adajuga hal lain yang tak akan pernah bisa bersatu.  Seorang raja dan seorang shaman sangatlah  jauh terpisah dan tak akan pernah bersama.”

Karena ditolak, Hwon menaikkan suaranya, “Beri aku alasan mengapa kita tak dapat bersama!”

Wanita itu mengutip bagian dari buku Zouyi (Buku tentang Perubahan – I Ching) dimana langit dan bumi haruslah terpisah agar dapat menciptakan kedamaian.

“Aku juga telah membaca Zouyi tapi arti yang kutangkap bukanlah itu.” Ia menjelaskan kalau bumi tidaklah rendah karena dekat dengannya, dan karena kedekatan itulah maka ia harus memperlakukan dengan baik.

Mengutip dari buku Zuangzhi, wanita itu menjelaskan, “Langit yang mulia, bumi yang hina, itu adalah hukum alam. Seperti musim gugur dan musim dingin yang mengikuti musim semi dan musim panas adalah sifat dari keempat musim, langit dan bumi juga memiliki peringkatnya. Apalagi manusia.”

“Guruku tak mengajarkan Zuangzhi seperti itu. Walaupun pemimpin berkuasa dan rakyat mengikuti, pemimpin harus menjadi contoh bagi rakyatnya. Jika aku adil, maka rakyat menjadi adil. Jika aku mulia, maka rakyat ikut mulia. Itulah peringkat alam yang dimaksud. Aku tak akan menjadi hina dengan merengkuhmu, tapi malah kau yang akan menjadi mulia.’

“Berbicara kewajiban tanpa memperhatikan tanggungjawab bukanlah sebuah kewajiban. Jika saya tak direngkuh, maka Paduka akan memberi contoh yang baik bagi rakyat.. Saya bukanlah siapa-siapa yang bahkan tanpa nama.”

“Aku juga tak memiliki nama. Semenjak aku lahir dan masuk daftar calon putra mahkota, membuatku tak bernama. Setelah dinobatkan menjadi putra mahkota, aku bernama Hwon. Tapi tak seorang pun dapat memanggil nama itu. Tak ada yang memanggilku Hwon atau Pangeran Ilsung, tapi hanya Putra Mahkota. Sekarang setelah menjadi raja, bahkan nama Hwon pun tak boleh tertulis dalam kertas. Jadi, bukankah kita sama, tak bernama?”

“Tidak sama. Itulah perbedaan langit dan bumi.”

Wanita itu tetap kukuh seperti batu. Hwon terdiam seperti memikirkan sesuatu. Kemudian seakan disadarkan oleh sesuatu, ia pun menyerukan,

“Ah, benar! Karena ibu walimu tak memberi nama karena takut terikat nasib denganmu, maka akulah yang akan memberimu nama, dan nasib kita akan terikat. Aku akan memberimu sebuah nama.”

Kali ini, wanita itu nampak terkejut.

“Di dunia ini tak hanya ada nasib baik saja. Paduka tak seharusnya memberi nama karena pertemuan sesaat. Mohon Paduka memikirkannya kembali.”

“Kau terlihat seperti rembulan, atau rembulan yang terlihat sepertimu? Aku akan menamaimu Wol (artinya adalah bulan)”

Dan sejak saat itu, wanita itu menjadi Wol. Hwon merasa yakin dengan memberinya sebuah nama, takdir mereka akan berlanjut. Hwon ingin menyentuh wajah Wol, tapi ia urungkan, khawatir jika ia menyentuh wajahnya ia akan lenyap menjadi debu. Maka ia hanya melanjutkan minumnya.

“Hari ini bukanlah satu-satunya hari. Aku tahu namamu, aku tahu kau tak bisa pergi dari tempat ini. Jadi akan ada pertemuan berikutnya.”

Hwon menuangkan arak untuk Wol dan membacakan sebuah puisi

“Semua makhluk datang dan datang lagi, tak pernah berhenti.
Aku menunggu apakah semua sudah datang, tapi yang lain tetap datang.
Mereka datang dan datang lagi dari sebuah tempat yang tak bertepi.
Maka aku bertanya pada mereka, dari mana tempatmu berasal?”
(Cuplikan dari bait pertama puisi Hwadam Seo Kyung Deok : Relic)

Walaupun puisi itu sepertinya bertanya pada Wol darimana asalnya, tapi pertanyaan itu bukan untuk Wol saja. Puisi itu adalah pertanyaan Hwon pada dirinya sendiri, tentang perasaan yang tak terbantahkan muncul dari hatinya. Wol menutup matanya, tak melirik sedikitpun pada minuman yang dituangkan Hwon untuknya.

“Semua makhluk pergi dan pergi lagi, tak pernah berhenti.
Aku menunggu apakah semua sudah pergi, tapi ada yang belum pergi.
Mereka pergi dan pergi lagi hingga saat akhir, tapi tak ada yang terakhir.
Maka aku bertanya pada mereka, kemanakah kalian pergi?”
(Cuplikan dari bait kedua puisi Hwadam Seo Kyung Deok : Relic)

Hwon tak mengerti. Walaupun ia mengerti arti puisi itu, ia tak mengerti apa yang Wol maksud dengan membacakan puisi tersebut.

“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?”

“Saya hanya ingin menyelesaikan bagian kedua (dari puisi itu). Dan karena malam ini adalah akhir dari takdir kita, maka ini adalah permintaan saya agar tak ada pertemuan berikutnya, Paduka.”

“Mengherankan ada seorang shaman yang mengerti puisi Hwadam..”

“Begitu pula seorang raja yang mengerti puisi Hwadam.”

(Catatan : Karya Hwadam adalah jenis sahak, bukannya jeonghak. Suatu karya yang seharusnya tak dipelajari oleh raja. Tak tahu beda antara sahak dan jeonghak. Mungkin seperti perbedaan ideologi)

Dan Wol melanjutkan, menyarankan Hwon untuk segera kembali karena hujan telah berhenti dan gelasnya sudah kosong. Tapi Hwon merasa terluka karena Wol menyuruhnya segera pergi. Bukan terluka oleh Wol, tapi lebih pada perpisahaan itu sendiri.

“Pergilah bersamaku. Saat pagi datang, pergilah bersamaku.”

“Saya ingin bertanya, konsekuensi apa yang akan menimpa pengawal Paduka jika paduka tak kembali saat ini juga.”

Wol benar. Karena Hwon diam-diam pergi meninggalkan wisma kerajaan untuk pergi ke desa, jika sesuatu terjadi, maka yang menangung akibatnya bukanlah Hwon tapi Woon. Dan seperti biasa, kesalahan Woon dikarenakan ia sebagai anak selirlah yang menjadi sasaran.

“Wol! Aku akan datang menemuimu lagi. Tunggulah aku.”

“Saya telah mengatakan jika malam ini adalah akhir dari takdir kita.”

“Dan aku juga telah mengatakan kalau malam ini adalah awal dari takdir kita.Dan karena aku tak bisa pergi begitu saja, aku harus membawa kenang-kenangan darimu.”

Saat Hwon mengatakan kenang-kenangan, Wol membuka matanya dan tersenyum sedih. Hwon gembira melihat senyum pertama yang diberikan Wol padanya,  dan ia pun duduk mendekati Wol. Wol menjawab, “Saya tak memiliki apapun. Saya hanya memiliki bulan di langit yang Paduka berikan pada saya sebagai sebuah nama.”

Hwon melihat ke bulan dan tersenyum, “Maka aku akan mengambil bulan itu, yaitu seluruh dirimu.”

“Anda tak seharusnya melakukan itu, Paduka. Saya mohon Paduka mempertimbangkannya kembali.”

“Tak ada yang tak mungkin aku lakukan! Aku akan mengikat perasaanku  pada bulan yang telah kau berikan padaku.”

“Tapi bisakah saya meminta kenang-kenangan dari Paduka?”

Wajah Hwon mendadak sumringah dan ia langsung menjawab, “Katakan apapun itu. Aku akan memberikan semuanya.”

“Saya mohon agar Paduka meninggalkan semua yang terjadi malam ini. Matikan semuanya.”

“Jika aku mematikan semua kenangan ini, apakah kau akan mengubur kenanganmu juga?

Betapa kejamnya dirimu! Betapa tak berhatinya dirimu! Kau mengundangku datang  sehingga aku masuk. Dan ketika aku tak mau pergi, kau malah menyuruhku keluar. Walaupun sekarang aku pergi, tapi takdir kita tak akan berakhir.”

“Ini adalah takdir yang tak berarti.”

“Pertemuan badan ini bukan hanya satu-satunya takdir. Pertemuan hati kita juga adalah takdir. Kau tadi mengatakan kalau kau tak akan berbohong. Jadi bisakah kau memungkiri kalau malam ini hati kita tak pernah bertemu?

Alasan mengapa aku tak mengambilmu malam ini karena aku menjaga perasaanmu, jadi jangan pernah mengatakan dirimu serendah itu. Walaupun status sosial seseorang yang mengerti literatur itu rendah, tapi tidak dengan kepribadiannya. Dan malam aku akan pergi dengan membawa bulanmu.”

Dan dengan kata-kata itu, Hwon bangkit dan keluar bersama Woon, meninggalkan Wol yang terduduk di ruangan. Setelah berjalan cukup jauh, Hwon berkata pada Woon, “Hatiku sakit dan aku tak sanggup melihat ke belakang. Tolong lihatkan untukku. Apakah Wol melihat kepergianku?”

Woon melihat ke belakang, walaupun ia tak yakin alasan melihatnya karena perintah raja atau keinginannya sendiri. Tapi di belakang mereka, hanya tatapan Seol yang mengantar kepergian mereka.

“Ia tak melihat.”

“Ya, ya. Dan itu membuat hatiku berkurang rasa sakitnya. Woon, aku tak pernah menyangka kalau cahaya bulan dapat sangat menyilaukan.”

Di ruangan, Wol yang duduk terpaku bertanya pada Seol,

“Seol, apakah kau melihatnya pergi?”

Sambil menangis, Seol menjawab, “Ya, ia pergi! Ia benar-benar pergi!”

“Apakah ia melihat ke belakang?”

“Tidak! Ia tak menoleh sedikitpun.”

Wol perlahan bergumam, “Ya, ya. Dan itu mengurangi kesedihan hatiku. Seol, aku tak pernah menyangka kalau cahaya bulan dapat sangat menyilaukan.”

“Kenapa kau tak mengantarnya keluar? Kenapa kau hanya duduk di sini?”

Wol tersenyum lembut dan berkata, “Karena hujan yang mengantarkannya telah menempel di rumput, di tanah dan di angin. Dan setiap kali air hujan menetes di jubahnya, air itu akan menembus ke dalam baju, sepatu dan topinya, membawa hatiku bersamanya dan mengantarkannya pulang ke wisma kerajaan.”

No comments:

Post a Comment