Sunday, January 22, 2012

Novel The Moon That Embraces The Sun Bab IV


Bersamaan dengan suara genderang yang menandakan subuh, Wol diam-diam undur diri. Dan tak lama kemudian,Hwon pun terbangun. Setelah meminum sedikit air, Hwan langsung bertanya pada dayang, “Apakah seseorang mengunjungiku kemarin malam?”

Semuanya terkejut, tapi kasim dengan tenang menjawab kalau ahli nujum dari Kantor Astronomi singgah kemarin malam untuk membawakan jimat penangkal.

Hwon meregangkan badan dan bertanya heran, “Jimat penangkal seperti apa? Aku merasa jauh lebih baik.”

Tabib Istana segera dipanggil dan wajahnya sumringah setelah merasakan denyut nadi Raja. Semuanya gembira karena kesehatan Raja membaik dengan sangat cepat, tapi ahl nujjum istana gemetar ketakutan menyadari kalau masalah kesehatan Hwon sebenarnya bukan masalah medis dan mereka pun masih belum tahu penyebabnya.

Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah Wol tetap terlihat sehat. Biasanya kesehatan shaman yang menggantikan menerima guna-guna dari Raja akan langsung memburuk, tapi hal ini tak terjadi.

Dengan kesehatannya yang cepat membaik, Hwon memaksa unntuk langsung mengerjakan tugas yang telah ia abaikan selama sakit. Ia mengirimkan salam pagi pada Ibu Suri Istana (Nenek Hwon) dan Ibu Suri (Ibu Hwon) melalui kasim. Dan pada istrinya yang ia tak pernah merasakan kasih, bahkan kadang melupakannya, ia kirimkan pesan agar tak perlu mengunjunginya.

Hwon teringat kalau ia memiliki istri jika ia bertemu dengan mertuanya, Menteri Papyeong. Bahkan sampai sekarang, Hwon berharap dapat mengenyahkan Menteri Papyeong dengan mengasingkannya, tapi hal itu tak dapat ia lakukan karena berarti ia akan mengibarkan bendera perang pada neneknya sendiri yang melindungi pria tersebut.

Sementara itu, nurani Woon bertentangan ketika mengawal Hwon. Ia tak dapat menceritakan masalah Wol padanya. Tapi ia juga tak dapat menyembunyikannya pada Hwon yang telah bersusah payah mencari Wol.

Walaupun Woon selalu diam, namun Hwon merasa diamnya Woon kal ini tak seperti biasanya. Ia menyuruh Woon untuk beristirahat, dan Woon pun pergi tanpa suara. Ketika pengawal depan melihat kepergian Woon, mereka langsung bersigap. Tanpa Woon di samping Hwon berarti para pengawal harus lebih waspada dalam menjaga Raja. Woon sangatlah tampan, bahkan para pengawal pria pun berdebar-debar saat dilewati oleh Woon yang bermata tajam dan berhidung mancung.

Woon menemui ahli nujum kerajaan di istana. Setelah bimbang cukup lama, ia pun bertanya, “Dimana dia?”
Ahli nujum kerajaan bingung akan pertanyaan yang dilemparkan oleh Woon yang biasanya diam, tapi ia segera menangkap maksud Woon yang menanyakan keberadaan shaman yang semalam. Ia meminta Woon untuk tak khawatir karena shaman tersebut akan tinggal di tempat terpencil dekat kediaman shaman kerajaan selama sebulan.

“Sejak kapan ia menjadi bagian dari Shaman Kerajaan?”

“Ia telah lama terdaftar menjadi Shaman.”

Dengan kata-kata itu, ahli nujum istana buru-buru pergi untuk menemui Hwon, dan meninggalkan Woon dengan berbagai pertanyaan tak terjawab.  Apa yang dikerjakan oleh shaman kerajaan di pedesaan yang jauh dari istana? Bagaimana kondisi kesehatannya sekarang? Apakah mempengaruhi kesehatannya? Kemana ia akan pergi setelah masa satu bulannya berakhir?

Tak lama, matahari terbit dari timur dan mencerahkan dunia. Woon menatap matahari yang menyilaukan.

“Jaraknya dengan istana sepertinya lebih jauh dari 10.000 ri (kurang lebih 3.927 km). Aku berkelana mencarimu. Mungkinkah kau sekarang juga sedang menatap matahari yang sama? Jika iya, kuminta jangan. Lebih baik tutup matamu daripada menatap matahari. Kau mungkin tak tahu betapa berat hatiku tak dapat menjadi awan yang dapat menyembunyikan sinarmu. Apakah kau pikir matahari yang tak dapat melihat bulan akan lebih bahagia daripada awan yang menyaksikan bulan dan matahari?”

Sementara itu ahli nujum istana memberikan dokumen yang dibungkus kain sutra merah pada raja, yang berisi waktu baik bagi Raja dan Ratu untuk menyempurnakan perkawinan mereka. Tapi melirikpun, Hwon tak sudi.

“Yang Mulia..”

“Aku masih merasa belum sehat.”

“Tak usah buru-buru, Yang Mulia. Mohon mulai sekarang Paduka mempersiapkan diri untuk dapat memiliki pewaris tahta, sehingga pemerintahan akan kembali stabil.”

Raja dan Ratu tak dapat tidur bersama setiap saat. Untuk mencegah lahirnya Raja yang lalim, waktu baik untuk pembuahan pun ditentukan oleh Kantor Astronomi. Tapi dengan segala hari perkecualian; yaitu saat bulan purnama, tanggal satu setiap bulannya, hari terakhir setiap bulannya, hari yang berangin, hari yang berhujan, hari yang berhujan badai atau hari di saat kondisi kesehatan Raja dan Ratu sedang tak baik, maka hari yang benar-benar ‘disetujui’ mungkin hanya satu kali dalam satu bulan. Jadi pada hari itu, Raja mau tak mau harus mengeluarkan.

[Note : duh, alinea yang susah-susah gampang untuk diterjemahkan. Karena lucu dan agak-agak saru. Cuman karena saya hanya menterjemahkan, don’t blame it on me, ya..  Haduh.. kesian banget jadi raja.. ]

Tapi sampai sekarang Hwon belum pernah menyempurnakan perkawinannya dengan Ratu. Tanpa alasan yang jelas, sejak awal Raja sudah membenci Ratu. Dan ketika hari baik sudah dipilih, sesuatu pasti selalu terjadi sehingga membuat kesempatan itu hilang. Jadi saat sidang selalu terjadi kericuhan, antara pihak yang menginginkan Raja untuk mengambil selir dengan pihak Ratu yang menolak hal itu.

Dengan wajah cemberut, Hwon membuka dokumen itu secara serampangan. Hari baik yang dipilih adalah satu hari sebelum bulan purnama – hari terakhir dimana Wol ada di istana. Tapi tentu saja, Hwon tak mengetahui hal ini.

“Lihatlah, Won. Aku juga bukan manusia. Bagaimana mungkin aku berbeda dengan sapi dan babi yang harus beranak pinak? Walaupun kau bilang kau tak ingin ikut denganku, seharusnya aku harus merengkuhmu saat itu juga. Aku benar-benar menginginkannya. Bukan ragaku, tapi jiwaku.”

Saat kembali ke ruangannya malam itu, Hwon tak lagi mengungkit masalah Wol. Bahkan ia tak lagi memandang bulan. Ia malah menerima teh bunga matahari dengan senang, dan jatuh terlelap .. tak menyadari kalau Wol yang ia rindukan berada di sampingnya.

* * *

Minhwa menghela nafas di tengah-tengah kegiatannya menyulam seekor merak. Ia benar-benar bermaksud untuk menyulam sebuah merak, tapi yang ia lihat di hadapannya sekarang adalah seekor ayam gendut. Ia tak mungkin menggunakan sulamannya untuk ditempelkan di seragam suami tercintanya, Yeom. Ia memeluk jeogori (atasan hanbok) milik Yeom.

“Tuanku, aku kangen padamu. Sudah lama ..Ah, baru sebulan sejak kepergianmu, tapi rasanya lebih dari setahun bagiku. Aku ingin memamerkan hasil sulamanku saat kau kembali, tapi aku malah mengacaukannya. Walau tak ada yang dapat kupamerkan, kumohon cepatlah pulang.”

Bau tubuh Yeom sudah tak  tercium dari jeogori tersebut, dan hanya wangi milik Minhwa yang tersisa. Sebulan penuh ia memeluk jeogori itu. Diserang rasa kangen yang mendadak datang,  air mata mulai merebak di mata Minhwa.

“Air mata, ayo masuklah kembali. Air mata, ayo masuklah kembali. Kalau seorang wanita menangis, hal buruk akan terjadi pada suaminya.”

Bersamaan dengan Minhwa yang berjuang untuk tak meneteskan air mata, ia mendengar teriakan pelayan wanita dari luar.

“Yang Mulia! Yang Mulia! Beliau sudah tiba. Menantu kerajaan telah tiba!”

Mendengar kata-kata itu, Minhwa membuka pintu kamar dengan terkejut.

“Apakah benar? Ia sudah ada di sini atau ia akan menuju ke sini?”

“Beliau sudah memasuki pintu gerbang utama.”

Bersukacita, Minhwa melesat dan hampir tersandung roknya sendiri akibat ketidaksabarannya.Ia membenahi bajunya dan bersiap-siap untuk keluar, tapi berhenti sejenak untuk membedaki wajahnya. Kemudian ia berbalik dan bertanya pada Nyonya Min bagaimana penampilannya. Puas mendengar kata-kata Nyonya Min yang mengatakan kalau ia kelihatan cantik, Minhwa mengangkat roknya dan berlari keluar.

Terkejut melihatnya, Nyonya Min mengejarnya, “Yang Mulia! Harga diri Paduka! Harga diri Paduka!”

Tapi Minhwa tak mendengarkannya dan berlari dengan hanya mengenakan beoseon (kaos kaki yang dipakai untuk hanbok). Dibelakangnya Nyonya Min menyerukan tentang harga diri, dan dibelakangnya lagi seorang gadis pelayan mengejarnya dengan membawa sepatu Minhwa.

Setelah melihat Yeom masuk dan disambut oleh para pelayan, Putri Minhwa menghentikan langkahnya dan berbalik karena malu. Berharap suaminya langsung menemuinya setelah menyapa para pelayan, ia berulang kali memainkan pita bajunya. Rasanya dadanya ingin meledak saat ia menunggu, dan ia merasakan kehadiran Yeom di belakangnya. Tapi bukannya menyapa Putri Minhwa, Yeom malah terus berjalan menuju kamar ibunya. Walaupun kecewa, ia menghibur dan mengingatkan dirinya sendiri kalau sudah sepatutnya seorang anak yang berbakti harus menyapa ibunya terlebih dahulu. Minhwa berdiri di depan kamar ibu mertuanya, hampir tak dapat menahan diri untuk menyerbu masuk.

Yeom memberi hormat pada Nyonya Shin dan kemudian berlutut di hadapannya.

“Apakah hatimu sekarang jauh lebih baik setelah kembali dari perjalanan?”

“Ya.”

Yeom tersenyum tanpa suara. Nyonya Shin menghela nafas sebelum berbicara, “Beberapa kali pejabat istana mengunjungi rumah ini saat kau pergi. Keluarga kerajaan dan menantu kerajaan seharusnya tak boleh meninggalkan Hanyang .. “

“Aku telah mendapatkan ijin.”

“Tapi aku tak dapat menatap Putri. Tahukah kau betapa ia sungguh-sungguh menantikanmu? Apakah kau telah menyapanya sebelum datang menemuiku?”

“Belum. Aku ingin menemui Ibu dahulu.”

“Tak seharusnya kau begitu. Cepatlah keluar dan hiburlah dia. Ia pasti tak sabar menunggu di luar.”

“Aku akan menemuinya setelah aku mandi. Ibu tak perlu khawatir.”

Melihat Yeom keluar, Minhwa berbalik dan mulai mempermainkan bajunya lagi. Tapi seperti tadi, Yeom berjalan melewatinya langsung menuju kamarnya sendiri. Minhwa ragu-ragu untuk mengikutinya, tapi setelah melihat pintunya tertutup, air mata merebak di matanya. Karena ada pelayan di sekitarnya, dengan cepat ia menyembunyikan tangisnya dan kembali ke dalam kamar. Begitu sampai di dalam kamar, ia mengeluarkan tangis yang ia tahan sedari tadi. Setelah menangis untuk sekian lama, Minhwa merindukan Yeom lagi. Dengan wajah bersimbah air mata, ia menyuruh pelayannya untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Yeom.

Pelayan itu keluar dan segera kembali sambil berbisik, “Beliau sedang mandi.”

Melihat Minhwa bangkit, Nyonya Min buru-buru meraih lengan Minhwa.

“Apa yang akan Yang Mulia lakukan? Yang Mulia tak bermaksud..? Tidak boleh! Saya tahu apa rencanya Yang Mulia. Menantu Kerajaan adalah pria yang bermartabat. Yang Mulia benar-benar tak boleh. Harga diri Yang Mulia..”

“Aku akan berperilaku bermartabat jika aku di hadapan orang lain, tapi aku tak memerlukannya di hadapan suamiku sendiri. Rasanya aku akan mati jika aku tak menemuinya sekarang juga. Jangan ikuti aku, Nyonya Min!”

Minhwa lari ke tempat pemandian, dan tanpa sepengatahuan siapapun, diam-diam ia menyelinap masuk ke dalam. Bahkan untuk pasangan yang telah menikah, melihat pasangannya mandi adalah menyalahi tata krama. Dan saat mandi sendiri pun, sudah sepatutnya mandi dengan memakai pakaian. Yeom adalah pria yang tahu sopan santun yang selalu mengikuti tata karma. Jadi walaupun ia ada di dalam bak mandi, ia tetap mengenakan pakaian.

Yeom past baru saja mencuci rambutnya, karena rambut panjangnya menempel ke leher dan mengambang di atas air. Walaupun ia berpakaian, tapi pakaian itu basah dan membayang, memperlihatkan kulit di balik pakaian itu. Air yang menetes dari hidung dan dagunya, terlihat begitu indah bagi Minhwa. Alis matanya yang gelap, bola matanya yang hitam seakan sedang berpikir dalam, sehingga tak menyadari kedatangan Minhwa. Terpesona oleh suaminya sendiri, Minhwa pun tenggelam dalam alam pikirannya sendiri.

Akhirnya Yeom merasakan kehadiran orang lain di dalam ruangan dan terkejut mencarinya. Ia semakin terkejut menemukan orang itu adalah istrinya sendiri. Tapi keterkejutan itu berubah menjadi canggung karena Minhwa tetap berdiri di hadapannya. Yeom berkata pelan, agar tak ada orang yang mendengarnya.

“Aku sungguh terkejut. Apa yang membawamu ke sini, Putri?”

“Aku .. aku hanya ingin mengucapkan salam ..”

“Kalau begitu nanti saja.”

“Tidak. Sekarang.. Aku merindukanmu dan tak dapat menunggu lebih lama lagi. Bahkan saat memandangmu seperti ini, aku juga masih merindukanmu.”

Tangis Minhwa pun pecah. Yeom tak tahu bagaimana cara menyapa Minhwa dengan pakaian (atau tanpa pakaian) seperti ini. Setelah cukup lama merasa tak enak, Yeom mengulurkan tangan padanya. Masih dengan airmata mengalir di wajahnya, Minhwa menghampiri Yeom dan menyambut uluran tangannya. Dengan hangat tangan Yeom menggenggam tangan Minhwa.

“Apakah mungkin aku membuatmu sedih?”

Minhwa tak menjawab. Dengan lembut Yeom mengusap air mata Minhwa.

“Rencananya aku akan menemuimu setelah mandi.”

“Tapi.. kau kan dapat menatapku sekali saja. Itu sudah cukup bagiku.”

“Ada banyak pelayan di sekitar kita. Dan juga.. , Putri, tak peduli betapa penting masalah itu, kau harus tetap mengenakan sepatumu.”

Minhwa terkejut mendengar ucapan itu dan melihat Yeom tersenyum padanya. Kenyataan kalau Yeom tahu ia tak memakai sepatu berarti Yeom sudah memperhatikannya tanpa ia sadari. Dan karena itu, ia merasa bahagia. Tapi kebahagiaan itu juga singkat, karena Minhwa menginginkan lebih saat ia memandang bibir Yeom. Padahal ekspresi Yeom jelas meminta Minhwa untuk meninggalkan ruang mandi karena mereka telah bertukar salam.

Yeom tak tahu apa keinginan Minhwa dan Minhwa tahu kalau Yeom tak akan pernah bisa menebaknya. Kedatangannya ke ruang mandi saja sudah diluar nalar Yeom. Minhwa tahu kalau ia harus segera meninggalkan ruang mandi ini, tapi matanya tak mau lepas dari Yeom. Akhirnya ia berseru, “Aku ingin sebuah ciuman!”

Yeom benar-benar sangat terkejut. Minhwa pun menunduk. Tapi bahkan setelah menunggu sekian lama, Yeom tak bergeming. Minhwa malah mendengarnya berbicara,

“Ehem.. Selama ini Putri pasti merencanakan berbagai cara untuk mengejutkanku.”

“Aku tak ingin ciuman yang dalam. Ciuman yang bermartabat pun tak masalah..”

Mendadak Minhwa merasa khawatir kalau Yeom akan berpikir kalau dirinya adalah wanita yang agresif, dan hal ini membuatnya sedih.

“Aku masih tak berpakaian yang sepantasnya. Matahari pun belum tenggelam. Ini tak sopan.”

Minhwa tak dapat mengangkat wajahnya. Merasa malu, air matanya sudah merebak, tapi mengetahui kalau Yeom akan merasa lebih tak enak lagi, ia telan airmatanya kembali. Namun pada saat itu juga, ia merasakan kecupan Yeom di dahinya.

Hal ini sudah cukup bagi Minhwa. Puas, Minwapun mengangkat wajahnya, bersiap untuk pergi, namun Yeom kembali menciumnya. Setelah berpisah, Minhwa pun tersenyum dan memeluk Yeom.

“Putri, bajumu akan basah. Aku juga harus menyelesaikan mandiku.”

Tapi Minhwa menolak untuk pergi. Bau jeogori Yeom tak sebanding dengan bau Yeom saat ini.

Dari kejauhan, seseorang memperhatikan tempat pemandian yang tertutup dengan sedih. Ia adalah Seol, yang berdandan seperti pria. Mendengar kedatangan seorang pelayan, dengan tangkas ia melompati pagar. Namun walaupun sudah ada di luar, ia tak sanggup pergi dan malah berbalik melihat rumah Yeom lagi dan lagi. Hanya ketika ia merasakan kedatangan seseorang, ia menundukkan kepala dan segera pergi. Orang itu adalah Woon, yang diutus oleh Raja karena telah mendengar berita kedatangan Yeom.

Saat Woon dan Seol berpapasan, mereka sama-sama berhenti. Seol melihat pedang pengawal kerajaan yang dibawa Woon. Dan Woon pun heran, mengapa seorang wanita berpakaian seperti laki-laki. Begitu pula pedang yang tersembunyi di balik punggungnya dan caranya berjalan mengusik perhatiannya. Bukan hal yang umum jika seorang wanita membawa pedang. Dan ia langsung mengetahui kalau wanita itu adalah gadis pelayan Wol.

Woon melihat ke rumah Yeom. Ia yakin kalau Seol tadi memperhatikan rumah itu sebelumnya. Tapi ketika ia berbalik, Seol telah pergi dan tak dapat ia temukan di mana-mana.

Novel The Moon That Embraces The Sun Bab III


Sebenarnya, tugas Wol adalah menyerap energi jahat dari kamar Hwon yang mempengaruhi kesehatannya. Dan saat kesehatan Hwon sudah membaik, ia akan dapat menyempurnakan perkawinannya dengan Ratu di hari yang telah ditentukan oleh Kantor Astronomy sehingga menghasilkan keturunan laki-laki untuk menjadi pewaris tahta.

Namun kesehatan Hwon tak kunjung menunjukkan perbaikan, ia bahkan tak dapat duduk lama saat memimpin sidang tanpa kehabisan nafas. Ia hanya memeriksa satu atau dua dokumen setiap harinya, dan merasa cemas mengetahui mertuanya, Menteri Papyeong, dan pengikutnya yang memeriksa ratusan dokumen yang tersisa. Ini menandakan kalau Menteri Papyeonglah yang memerintah negara ini.

Perjalanan Hwon ke wisma kerajaan sebenarnya bertujuan untuk memperbaiki kesehatannya. Tapi bukannya kesehatan Hwon membaik, tapi malah semakin memburuk. Karena tabib kerajaan tak dapat mendiagnosa penyakitnya, banyak orang menduga kalau Raja diguna-guna. Dan memang sulit beranggapan Hwon normal jika ia selalu memandang bulan dan menghela nafas setiap malamnya.

Sebulan sejak pertemuannya dengan Wol telah berlalu, dan Hwon berseru gembira melihat bulan purnama lagi. Cukup keras hingga Woon yang berdiri di luar kamar mendengarnya. Hwon mendesah, “Bulan turun, menghilang kemudian datang kembali di hadapanku. Tapi bulan yang seharusnya kembali ke hadapanku tak kunjung datang.”

Melihat Woon hanya berdiri diam tak menjawab, Hwon mengulurkan tangannya ke luar jendela dan menarik jubah Woon.

“Lihatlah padaku. Jangan berdiri membelakangiku. Kau juga melihat bulan itu bersamaku. Atau kau tak melihatnya?”

Woon berbalik dan menjawab singkat, “Ya, saya melihatnya, Yang Mulia.”

“Jadi bagaimana? Apakah bulan itu juga melihatmu? Atau itu hanya sebuah ilusi?”

Kali ini Woon tak menjawab.

“Lancang sekali! Tahukah kau, di masa pemerintahan Raja Sejong, Pejabat Choi Howon dipenjara karena tak mau berbicara di hadapan Raja? Kau harusnya berterimakasih pada bintang keberuntunganmu karena aku adalah Raja yang murah hati. Jika raja lain, kau pasti akan dipenjara seumur hidup,” walaupun mendengar ‘ancaman’ Hwon, Woon tetap diam membisu.

Bersamaan dengan itu, seorang kasim masuk ke dalam kamar dan membawakan teh bunga matahari atas permintaan tabib istana dan kantor Astronomi. Seketika itu juga semerbak wangi bunga matahari memenuhi ruangan.

Hwon, yang mulai lelah meminum obat, melancarkan protesnya, “Bukankah Kantor Astronomi sedang mempersiapkan jimat penangkal? Aku sudah rajin meminum obat, haruskah aku juga meminum teh ini?”

“Harus, Yang Mulia, agar jimatnya lebih berkhasiat. Teh ini tak pahit seperti obat, bahkan baunya pun cukup wangi.”

“Woon, apakah bulan itu sedang sibuk? Bahkan dalam mimpi pun ia tak muncul.. Aku sendiri sangat aneh. Selalu terkenang pada seseorang yang hanya sebentar kutemui dalam gelap.. Benar-benar tak normal. Kalau aku merenungkannya lagi, sekarang aku dapat memahami perasaaannya saat itu.

Bagaimana mungkin ia dapat merindukan seorang pengelana yang sedang tersesat, yang ia berikan tempat berteduh dari hujan? Pasti sangat berat baginya untuk mengusirku karena aku seorang raja. Pasti dia sudah punya kekasih. Karena susah menolak seorang raja yang ingin membawanya pergi, maka ia langsung melarikan diri dengan kekasihnya keesokan harinya. Bukankah begitu, Woon?”

“Saya tak tahu, Yang Mulia.”

Hwon menjadi semakin yakin dengan kata-katanya sendiri. “Aku harus menyerah. Woon, sebelum aku menyerah, pergilah ke sana sekali lagi.”

“Ya, Yang Mulia.”

“Ah, tidak. Lupakan. Tak seharusnya aku menyuruhmu pergi ke sana berulang kali, nanti akan menimbulkan kecurigaan.”

“Ya, Yang Mulia.”

“Woon, jangan khawatir. Mulai sekarang, tak akan ada pembicaraan tentang bulan lagi… Tak seperti biasanya, bulan kelihatan sangat besar sekali.”

Setelah menghabiskan tehnya, Hwon merasa mengantuk. Tak sadar kalau perasaan itu dipengaruhi oleh teh yang diminum, Hwan naik ke atas ranjang, menyelinap di balik selimut dan langsung tertidur tanpa membolak-balikkan badannya seperti biasa.

Menduga ada yang tak beres, Woon membaui cawan teh yang telah kosong dan bertanya pada kasim yang bertugas, apa alasannya Raja harus ditidurkan? Kasim menjelaskan kalau ia diberitahu oleh kantor Astronomi kalau hal ini harus dilakukan agar jimat penangkal dapat bekerja secara efektif.

Lonceng malam telah berbunyi dan Woon memperhatikan ada ahli nujum kerajaan dan seorang wanita tertutup sseugae chima (kerudung) putih mendekat.

Tangan Woon hendak menarik pedangnya. Tapi semakin wanita itu mendekat, Woon merasakan sebuah perasaan yang berbeda. Dan akhirnya pengawal kerajaanlah yang menghentikan langkah kedua orang itu.

“Siapa kau yang berani mengenakan sseugae chima di dalam istana.”

Ahli nujum kerajaan perlahan menjawab, “Tak ada pilihan lain karena ini adalah satu-satunya cara. Ini bukanlah orang, tapi sebuah jimat.”

“Jimat? Bagiku, dia adalah seorang manusia.”

“Tak semua jimat penangkal harus tertulis di atas kertas. Dalam situasi khusus dimana kita tak mengetahui penyebab pastinya, jimat penangkal yang terbaik adalah seorang manusia.”

“Jadi apakah mungkin ia shaman..”

Woon mendekati mereka berdua, dan dengan pedangnya ia mengangkat sseugae chima dari wajah wanita itu. Dan ia pun tegang melihat wajah Wol yang menatapnya.

Sambil menarik sseugae chima-nya kembali dari pedang Woon, Wol berberkata dengan mata mengarah ke bulan, “Pemandangan awan yang menutupi bulan sangatlah indah.”

Sama seperti sebelummya, suaranya menggetarkan hati Woon sehingga genggaman pedangnya menguat. Woon mengerti kata-kata itu ditujukan padanya dan merupakan permintaan Wol agar merahasiakan hal ini pada Raja. Ketika Wol lewat, tercium wangi bunga anggrek darinya.

Wol diantarkan oleh dua dayang dan diperiksa untuk meyakinkan kalau Wol tak membawa senjata yang dapat melukai Raja. Kemudian kasim mengantarkannya ke dalam kamar. Setelah di dalam kamar, ia menundukkan kepalanya agar tak melihat raja secara langsung (sebuah kejahatan besar jika melihat wajah Raja langsung tanpa seijinnya) kemudian ia berjalan mendekati tempat Hwon terlelap. Wol pun duduk di dekatnya.

Setelah Wol menempatkan diri, kasim dan para dayang menuju ruang sebelah dengan pintu penghubung tetap terbuka. Woon kemudian memasuki kamar raja namun duduk di tempat yang jauh dari Hwon dan Wol.

Setelah semua mata tak lagi tertuju padanya, diam-diam Wol memandang Hwon. Ia memperhatikan tangan lembutnya, selimut sutra yang naik turun seiring dengan nafasnya, baju tidurnya yang putih dan wajahnya yang terlelap.

Dari kejauhan, Woon pun memperhatikan Wol. Dari baju berkabungnya yang putih, tangan halus yang dengan lembut ia letakkan di atas lutut, leher putihnya yang jenjang, kemudian Woon melihat lebih atas lagi ke bibir dan hidungnya. Dan akhirnya pada mata Wol yang tak lepas menatap, tatapannya hanya kepada Raja.

NoveL The Moon Embracing the Sun Bab II


Kenyataan : 

- Semua pria yang masuk ke dalam istana harus memakai topi, kecuali Woon.
- Nama panggilan Woon adalah Bingwoon, yang artinya Awan Beku
- Untuk alasan keamanan dan fengshui, Hwon tidur di kamar yang berbeda setiap malam. Beberapa orang yang tahu di mana raja tidur di kamar yang ditunjuk hanyalah tiga ahli nujum, beberapa kasim yang bertugas, beberapa dayang-dayang dan Woon.


Woon pergi ke tempat yang ditunjukkan oleh pesan rahasia, di mana Hwon akan tidur malam ini. Tapi Woon malah menemukan Hwon di tempat lain.

“Apa yang membawa Paduka datang ke tempat ini?”

“Aku duduk di sini untuk menemui bulanku. Tapi, seberapa keras aku ingin menjadikannya sebagai milikku, langit pun juga bersikeras kalau bulan adalah miliknya. Jadi bagaimana mungkin aku dapat mengalahkan langit? Langit pasti membenciku karena harus membagi bulan denganku, maka ia menyembunyikannya seperti sekarang ini. Aku yakin kalau kau dapat membawakan bulan kepadaku, tapi..”

Setelah malam pertemuan mereka, Hwon telah menyuruh Woon untuk menjemput Wol, tapi ia tak dapat ditemukan di manapun. Pondoknya kosong dan semua orang di desa tak pernah mendengar wanita yang digambarkan seperti Wol. Bahkan tak ada nama Wol di daftar resmi Shaman.

Berhari-hari Woon berada di rumah Wol, tapi ia tetap tak muncul. Hanya saja Woon tak memberitahukan pada Hwon kalau wangi bunga anggrek tetap tercium dari ruangan itu. Atau saat ia menunggu, betapa ia menginginkan kemunculan Wol, walaupun hanya dalam bentuk roh. Woon tak tahu apakah keinginannya itu demi kepentingan Hwon atau untuk kepentingannya sendiri. Ia juga tak dapat memberitahukan bagaimana wangi bunga anggrek dan sinar bulan membuat hatinya pedih, tapi anehnya, juga memberikan perasaan lega.

Sementara itu di sebuah pondok kecil, seorang shaman wanita tua yang dikenal dengan Nyonya Jang, tak seperti biasanya sedang buruk suasana hatinya. Ia memerintahkan pelayan wanitanya, Janshil, untuk mempersiapkan sambutan bagi para tamu. Janshil mengeluh, bertanya-tanya tamu seperti apa yang harus ia sambut

Tapi betapa terkejutnya Janshil, ada dua tamu mengunjungi pondok mereka. Yang satu adalah pendeta Hyegak, seorang pria tua dengan rambut dan jenggot putih dan panjang sambil membawa tongkat. Satu lagi adalah seorang pejabat muda golongan 4, wakil dari Kantor Astronomi Kerajaan.

Mula-mula pendeta Hyegak meminta Nyonya Jang untuk kembali ke istana sebagai ketua Shaman, tapi pejabat kerajaan yang tak sabar, langsung memotong dan mengatakan alasan kunjungan mereka. Pejabat itu meminta Nyonya Jang untuk meminjamkan putrinya selama sebulan karena kesehatan Raja memburuk dan tabib istana tak tahu apa penyebabnya.

Nyonya Jang marah karena harus mengirimkan putrinya yang juga shaman ke istana saat bintang Sirius tertutup dalam kegelapan, yang menandakan firasat buruk kalau negara akan mengalami keterpurukan. Tapi ia tahu kalau ia tak punya pilihan lain.

Setelah kedua tamu itu pergi, Nyonya Jang mulai minum-minum, rasanya ingin minum sampai mati. Kemudian ia berbicara di hadapan sebuah kamar yang gelap.

“Tuanku Putri. Apakah Anda mendengarnya? Sepertinya Anda harus masuk ke istana.”

Dari dalam ruangan gelap itu, Wol berkata, meyakinkan kembali pada Nyonya Jang, “Aku hanya akan duduk di dekat Baginda Raja untuk satu bulan.”

“Bukan berada di dekat Baginda Raja. Tapi lebih tepatnya lagi, berada di sampingnya saat ia sedang tidur. Untuk satu bulan, namun Baginda Raja tak boleh tahu kalau Anda mengunjunginya. Tidak, beliau tak boleh tahu.”

NoveL "The Moon Embracing The Sun" Bab I





Pada suatu sore di musim gugur, Yi Hwon dan pengawal pribadinya, Woon, menemukan pohon besar sebagai tempat berteduh dari hujan yang sangat lebat. Hwon sedang menyamar, hanya mengenakan busana bangsawan biasa. Sementara penampilan Woon tak dapat dibantah, ia adalah seorang pendekar. Rambut panjangnya terikat rapi dengan kedua pedang panjang tersampir di punggung dan pinggangnya.

Kedua pria itu berada jauh dari desa terdekat, dan hujan sepertinya tak akan berhenti dalam waktu dekat. Tiba-tiba Hwon melihat sebuah gubuk kecil di kaki gunung dan memutuskan kalau mereka akan berteduh di tempat itu sampai hujan usai.

Tanpa menunggu jawaban Woon, seperti kena sihir, Hwon berjalan cepat menuju rumah itu. Tak ada pilihan lain bagi Woon selain mengikutinya.

Setibanya di depan gerbang, langkah Woon terhenti karena melihat ada sebilah tiang panjang menancap di pintu gerbang. Woon menyarankan agar Hwon tak memasuki rumah itu, karena rumah itu didiami oleh seorang shaman.

Namun tiba-tiba seorang wanita (yang nanti kita kenal dengan nama Seol) muncul dan membuka pintu.

“Tunjukkan siapa dirimu!”

“Aku tak tahu harus berkata apa. Dalam situasi seperti apa seorang tuan rumah harus menunjukkan jati dirinya pada tamunya? Bukankah seharusnya aku yang harus menanyakan hal itu?”

“Untuk apa seorang wanita memiliki sebuah pedang?”

“Mengagumkan. Bagaimana kau tahu kalau aku memiliki pedang? Seperti dugaan.. Oh! Bukan itu maksudku. Ehm.. Tuanku Putri memintaku untuk mengundang kalian untuk masuk.”

“Aku tanya sekali lagi, mengapa kau harus memiliki pedang?” tanya Woon kembali.

“Di tempat terpencil seperti ini, dua orang wanita tinggal sendirian. Bukankah sudah sewajarnya kami memiliki setidaknya sebuah pedang? Pertanyaan yang bodoh. Jadi, kalian mau masuk atau tidak?”

Walaupun Hwon ingin masuk, tapi ia tak dapat memaksakan kehendaknya karena Woon. Tapi sepertinya Seol sudah tahu kalau tamunya ragu-ragu, maka iapun melanjutkan, “Tuanku Putri berkata kalau para tamu pasti tak akan mau masuk, maka ia bertanya, ‘Apa bedanya jika berteduh di bawah atap pintu masuk rumah seorang rendahan dengan berada di sebuah ruangan yang hangat dan nyaman?”

Kata-kata itu menjadi alasan yang tepat bagi Hwon untuk memaksakan dirinya masuk ke dalam rumah. Seol mengantar tamunya ke sebuah ruang kosong. Ruangan itu beraroma wangi bunga anggrek dan di lantai terdapat sebuah meja kecil dengan minuman dan makanan di atasnya. Di samping meja, ada anglo yang menyapa hangat para tamu, seakan-akan mereka memang diharapkan datang.  Namun selain itu, ruangan itu tak ada bedanya dengan ruangan biasa, dan tak memiliki ciri-ciri yang menunjukkan kalau rumah itu dimiliki oleh seorang shaman. Bahkan ruangan itu malah mirip dengan ruangan seorang pria, seorang pelajar, karena di di rak buku terdapat banyak buku literatur (Konfusius) seperti Refleksi dari Lima Kitab dan Pertanyaan pada Ajaran Agung.

Mendengar wanita, yang dipanggil Tuanku Putri oleh Seol, memasuki ruang sebelah, Hwon kembali duduk di lantai. Ruang sebelah hanya dipisahkan oleh sebuah pembatas ruangan sehingga Hwon hanya dapat melihat siluet anggun seorang wanita yang ada di depannya. Rambutnya terkepang dan diikat dengan sebuah daengi (pita), menunjukkan kalau wanita itu belum menikah.

Dari ruang sebelah, wanita itu memberi hormat dengan membungkuk sekali padanya, namun ia kemudian membungkuk lagi. Dalam tata cara tradisional, dua kali penghormatan berarti memberi hormat pada orang yang sudah meninggal. Hwon dan Won mengerutkan kening, tak suka dengan tindakan wanita itu yang kurang ajar.Tapi kemudian wanita itu membungkuk lagi, membuat bingung kedua pria yang ada dihadapannya (Tiga kali penghormatan berarti memberi hormat pada Budha). Dan betapa terkejutnya Hwon dan Won karena wanita itu membungkuk sekali lagi, penghormatan yang ditujukan pada seorang raja.  Setelah penghormatan yang terakhir, wanita itu menempelkan keningnya ke atas lantai, dan membungkukkan tubuhnya serendah mungkin.

“Angkat wajahmu.”

Wanita itu perlahan-lahan mengangkat badannya, dan dengan lembut menangkupkan kedua tangan di atas lutut kirinya. Hwon masih belum dapat melihat jelas wajah wanita itu. Ia bertanya pada wanita itu, mengapa ia memberi empat kali penghormatan padanya. “Apakah kau tak dapat menghitung?”

“Saya hanya ingin memberi penghormatan yang selayaknya pada matahari.”

Mendengar suaranya yang indah, Hwon sesaat kehilangan kata-kata.

“Apa yang kau maksud dengan matahari? Bagi seorang wanita, matahari adalah suami.”

“Seorang wanita juga rakyat Joseon.”

Hwon tak dapat berucap lagi. Jelas wanita ini mengetahui kalau ia adalah seorang raja. Kemudian, wanita itu meminta Hwon untuk meminum minuman yang telah ia persiapkan.

Hwon jadi semakin ingin tahu wajah wanita itu dan memintanya untuk memperlihatkan wajahnya. Tapi ketika wanita itu tak menjawab, malah tetap mempersilakan Hwon untuk minum, Hwon memerintahkan Woon untuk memindahkan pembatas itu. Dengan sekali tebas, pembatas yang memisahkan ruangan mereka terjatuh ke lantai. Dan seakan-akan pedang tajam Woon juga membelah awan hujan di langit, cahaya bulan tertumpah sehingga memenuhi ruangan.

Sekali lagi Hwon terkesima akan kecantikan wanita itu yang sangat mempesona, tapi ia menutupinya dengan kemarahan.“Tak peduli seberapa rendah tamu yang datang, adalah kewajiban tuan rumah untuk memperlihatkan diri dan menyambut saat tamu memasuki rumah. Mengapa kau tak mematuhi perintahku?”

“Walaupun status sosial saya adalah terendah dari yang rendah, berdasarkan takdir langit, saya adalah seorang wanita. Saya gagal melaksanakan kewajiban saya sebagai tuan rumah karena saya melaksanakan kewajiban saya sebagai seorang wanita (yaitu menjaga jarak dengan pria).

“Kau mengikuti aturan itu walau kau bukan wanita bangsawan?”

“Saya tak pernah mendengar sebuah undang-undang yang melarang seorang wanita rendahan tak boleh mengikuti aturan para wanita bangsawan.”

Hwon tertawa sembari meraih sebotol arak. Ia tak pernah menemui seorang wanita yang tak takut untuk mengungkapkan perasaannya dengan penuh rasa hormat tapi juga penuh percaya diri pada Raja. Hwon menuangkan minuman untuk  Woon, tapi Woon tak melihat gelas itu dan tetap menatap lantai, mengisyaratkan kalau ia tak dapat minum saat sedang bertugas mengawal raja.

Melihat hal ini, wanita itu berkata, “Betapa tak bertanggung jawab kau ini. Kau tak tahu siapa aku dan minuman apa yang aku sajikan, dan kau malah menolak minuman itu? Apa kau mengawal Raja hanya dengan pedangmu saja?”

Mendengar kata-kata itu, Woon tak punya pilihan lain kecuali meminumnya. (Seperti kebiasaan minum di Korea) Ia menolehkan kepalanya ke samping, dan matanya bersirobok dengan mata wanita itu.

Hwon ingin tahu bagaimana wanita itu bisa mengenalinya sebagai Raja.

“Hamba ingin bertanya pada Paduka. Jika sebuah matahari bersinar di langit malam, apakah itu sebuah matahari, atau sebuah bulan?”

Hwon tak menjawab dan wanita itu pun melanjutkan, “Matahari adalah matahari, dimanapun ia berada. Begitu juga dengan Paduka.”

“Tapi tak seorang pun di desa mengenaliku. Jadi bagaimana kau bisa?”

Ketika wanita itu tak menjawab, Hwon bergumam pada dirinya sendiri, “Meja dan anglo ini sudah dipersiapkan sebelumnya. Apakah aku dihantui oleh sebuah roh?”

Setelah berpikir sejenak, wanita itu menjawab kalau ia mengenalinya dari pedang yang dibawa oleh Woon, karena Seol memiliki cukup banyak pengetahuan tentang pedang.

“Seol memiliki mata yang hebat. Dari kejauhan dan kegelapan, ia mampu melihat pedang yang dibawa oleh pengawal Raja. Tidak, ia bahkan dapat mengetahui sebelum melihatnya. Apakah aku sedang digoda oleh hantu?” Hwon tetap memandang wanita itu dan berkata, “Kemarilah. Duduk di ruangan sebelah membuatku tak mampu melihat apakah kau menyembunyikan kesembilan ekormu atau tidak.”

Wanita itu sedikit ragu, namun ia berjalan menuju ruangan dimana Hwon dan Woon duduk. Dan ia pun duduk kembali.

“Apakah kau hantu .. atau  manusia..?”

“Orang-orang mengatakan kalau saya bukan manusia.”

“Jadi kau benar-benar seorang hantu?”

“Mungkin. Saya adalah sebuah jiwa dengan kesedihan yang dalam.”

“Apakah kau mempermainkanku? Bagaimana mungkin seorang hantu memiliki bayangan?”

“Saya tak berbohong. Bukankah seorang shaman memiliki derajat lebih rendah dari seorang manusia budak? Jadi saya tak berani mengatakan kalau saya adalah seorang manusia.”

“Seorang shaman..  Kau adalah seorang shaman. Jadi kau sudah mengetahui kedatanganku.”

“Tidak, Paduka. Walaupun saya seorang shaman, saya tak dapat meramal atau membaca pikiran orang. Saya adalah seorang shaman tanpa kemampuan seperti itu.”

“Memang ada jenis shaman seperti itu?”

“Saya malu untuk mengakuinya, tapi memang ada jenis shaman seperti itu. Menjalani hidup seperti ini, di tempat ini,  adalah sebuah cara untuk memperpanjang hidup.”

“Kau berbicara tapi aku tak memahami ucapanmu.  Woon, apakah kau pernah mendengar hal semacam ini?”

Woon melirik wanita itu kemudian menunduk kembali, menandakan kalau ia juga tak pernah mendengar hal seperti itu. Hwon yang bingung kemudian bertanya lagi, “Apakah kau benar-benar seorang shaman?”

“Tak mampu mengakhiri hidup, saya hidup sebagai shaman. Saya tak bisa hidup sebagai manusia, tapi  sebagai shaman maka saya bisa tetap hidup.”

Melihat wanita itu berbicara dengan tenang, Hwon malah merasakan kepedihan yang mendalam. Iapun bertanya kembali, “Siapa namamu?”

“Saya bukan siapa-siapa.”

“Aku bertanya siapa namamu.”

“Ada hukum yang tegas. Di depan raja, semua orang tidaklah penting. Mohon ijinkan saya untuk memperkenalkan diri sebagai bukan siapa-siapa.”

Hwon yang frustasi mengeraskan suaranya. “Kurang ajar! Beraninya kau membuatku mengulang perintah. Aku bertanya sekali lagi. Siapa namamu? Jika kau manusia, kau pasti memiliki nama keluarga dan nama lahir. Jika kau bukanlah seorang hantu, katakan namamu.”

“Nama keluarga diberikan pada orang yang memiliki ayah. Nama lahir adalah nama yang diberikan pada orang yang memiliki ibu. Karena saya tak memiliki ayah ataupun ibu, maka sayapun tak memiliki nama. “

“Maksudmu, kau tak bernama?”

“Saya.. telah hidup tanpa sebuah nama.”

“Menyebalkan sekali. Apakah kau mempermainkanku lagi?”

“Saya sudah mengatakan kalau saya tak akan berbohong.”

“Aku pernah mendengar kalau setiap shaman mempunyai ibu wali. Bagaimana ibu wali memanggilmu?”

“Ibu wali tak pernah memanggil saya dengan sebuah nama.”

“Bagaimana mungkin?”

“Khawatir akan nasib yang akan mengikat kami karena sebuah nama, maka ia tak pernah memberi nama.”

“Berapa umurmu?”

“Karena saya tak pernah menghitung tahun, maka saya tak dapat menjawab.”

“Berapa tahun kau tinggal di sini?”

“Sangat lama sekali. Saya hidup terperangkap di sini untuk waktu yang sangat lama.”

“Tapi dialekmu bukan seperti orang asli daerah ini. Dialekmu seperti orang yang berasal dari Hanyang (ibukota Joseon) jadi kau pasti bukan asli dari daerah ini. Sebelum tinggal di sini, kau pasti memiliki identitas, kan?”

Mata wanita itu tak dapat menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Tapi suaranya tetap tenang.

“Itu adalah kisah masa lalu yang sayapun tak dapat mengingatnya.”

Dalam kemarahannya, Hwon membanting gelas araknya ke atas meja. “Aku sudah bertanya banyak padamu, dan satupun tak kau jawab!”

“Saya telah memberi banyak jawaban pada Paduka, tapi satupun tak Paduka akui.”

“Dan apa yang telah kau jawab? Namamu? Umurmu? Kau bahkan tak menjawab jenis shaman seperti apa kau ini! Apakah kau benar-benar seorang shaman?”

“Jika Paduka tetap menganggap kalau jawaban saya tak memuaskan, apakah saya harus berbohong pada Paduka? Jika saya berbohong, apakah jawaban itu dapat memuaskan Paduka?”

Hwon melanjutkan minum dan tanpa berkata-kata. Sesaat kesunyian merayapi ruangan. Ia kemudian melanjutkan, “Tempatmu duduk masih terlalu jauh. Kemarilah mendekat.”

Wanita itu berjalan dua langkah mendekati Hwon dan duduk kembali.

“Masih terlalu jauh. Kemarilah lebih dekat lagi.”

Akhirnya wanita itu mendekat hingga jaraknya hanya seperlengan dari Hwon dan ia duduk kembali. Walaupun bagi Hwon jarak itu masih terlalu jauh, tapi ia membiarkannya. Sudah tak ada jarak lagi bagi wanita itu untuk duduk lebih dekat. Di hadapan Hwon, nampak wajah putihnya, lebih putih dari giok putih. Ia memiliki bulu mata yang lentik dan bola mata yang pekat. Di hadapan Woon terlihat sisi samping wanita itu. Walaupun sebuah wajah dapat berdusta, tapi tidak dengan postur tubuhnya. Dan bagi Woon, kesedihan wanita itu nampak kentara sekali. Agar tak melihat wanita itu, Woon menundukkan kepala dan menutup matanya. 

Sambil menghela nafas panjang, Hwon bertanya, “Apakah kau dapat melihat bagaimana hatiku mengalir padamu?”

“Karena hanya ada setitik sinar rembulan, saya tak mampu melihatnya.”

“Kau tak mampu melihat atau tak mau melihat? .. Tak dapatkah aku merengkuhmu? (Catatan : merengkuh di sini bisa dikonotasikan secara seksual)

“Karena khawatir hati Paduka akan berat meninggalkan tempat ini, saya akan tetap mengikat erat pita (baju saya)”

“Aku tak akan meninggalkan hatiku. Karena aku akan membawamu kembali. Jadi apakah kau mengijinkanku untuk menyentuhmu?”

“Saya tak dapat pergi. Saya terikat dengan tempat ini.”

“Aku, Rajamu, telah mengatakan akan membawamu pergi. Walaupun kau tak dapat pergi, kau harus mengikutiku.”

“Di bawah langit, ada hal yang bisa disatukan, dan adajuga hal lain yang tak akan pernah bisa bersatu.  Seorang raja dan seorang shaman sangatlah  jauh terpisah dan tak akan pernah bersama.”

Karena ditolak, Hwon menaikkan suaranya, “Beri aku alasan mengapa kita tak dapat bersama!”

Wanita itu mengutip bagian dari buku Zouyi (Buku tentang Perubahan – I Ching) dimana langit dan bumi haruslah terpisah agar dapat menciptakan kedamaian.

“Aku juga telah membaca Zouyi tapi arti yang kutangkap bukanlah itu.” Ia menjelaskan kalau bumi tidaklah rendah karena dekat dengannya, dan karena kedekatan itulah maka ia harus memperlakukan dengan baik.

Mengutip dari buku Zuangzhi, wanita itu menjelaskan, “Langit yang mulia, bumi yang hina, itu adalah hukum alam. Seperti musim gugur dan musim dingin yang mengikuti musim semi dan musim panas adalah sifat dari keempat musim, langit dan bumi juga memiliki peringkatnya. Apalagi manusia.”

“Guruku tak mengajarkan Zuangzhi seperti itu. Walaupun pemimpin berkuasa dan rakyat mengikuti, pemimpin harus menjadi contoh bagi rakyatnya. Jika aku adil, maka rakyat menjadi adil. Jika aku mulia, maka rakyat ikut mulia. Itulah peringkat alam yang dimaksud. Aku tak akan menjadi hina dengan merengkuhmu, tapi malah kau yang akan menjadi mulia.’

“Berbicara kewajiban tanpa memperhatikan tanggungjawab bukanlah sebuah kewajiban. Jika saya tak direngkuh, maka Paduka akan memberi contoh yang baik bagi rakyat.. Saya bukanlah siapa-siapa yang bahkan tanpa nama.”

“Aku juga tak memiliki nama. Semenjak aku lahir dan masuk daftar calon putra mahkota, membuatku tak bernama. Setelah dinobatkan menjadi putra mahkota, aku bernama Hwon. Tapi tak seorang pun dapat memanggil nama itu. Tak ada yang memanggilku Hwon atau Pangeran Ilsung, tapi hanya Putra Mahkota. Sekarang setelah menjadi raja, bahkan nama Hwon pun tak boleh tertulis dalam kertas. Jadi, bukankah kita sama, tak bernama?”

“Tidak sama. Itulah perbedaan langit dan bumi.”

Wanita itu tetap kukuh seperti batu. Hwon terdiam seperti memikirkan sesuatu. Kemudian seakan disadarkan oleh sesuatu, ia pun menyerukan,

“Ah, benar! Karena ibu walimu tak memberi nama karena takut terikat nasib denganmu, maka akulah yang akan memberimu nama, dan nasib kita akan terikat. Aku akan memberimu sebuah nama.”

Kali ini, wanita itu nampak terkejut.

“Di dunia ini tak hanya ada nasib baik saja. Paduka tak seharusnya memberi nama karena pertemuan sesaat. Mohon Paduka memikirkannya kembali.”

“Kau terlihat seperti rembulan, atau rembulan yang terlihat sepertimu? Aku akan menamaimu Wol (artinya adalah bulan)”

Dan sejak saat itu, wanita itu menjadi Wol. Hwon merasa yakin dengan memberinya sebuah nama, takdir mereka akan berlanjut. Hwon ingin menyentuh wajah Wol, tapi ia urungkan, khawatir jika ia menyentuh wajahnya ia akan lenyap menjadi debu. Maka ia hanya melanjutkan minumnya.

“Hari ini bukanlah satu-satunya hari. Aku tahu namamu, aku tahu kau tak bisa pergi dari tempat ini. Jadi akan ada pertemuan berikutnya.”

Hwon menuangkan arak untuk Wol dan membacakan sebuah puisi

“Semua makhluk datang dan datang lagi, tak pernah berhenti.
Aku menunggu apakah semua sudah datang, tapi yang lain tetap datang.
Mereka datang dan datang lagi dari sebuah tempat yang tak bertepi.
Maka aku bertanya pada mereka, dari mana tempatmu berasal?”
(Cuplikan dari bait pertama puisi Hwadam Seo Kyung Deok : Relic)

Walaupun puisi itu sepertinya bertanya pada Wol darimana asalnya, tapi pertanyaan itu bukan untuk Wol saja. Puisi itu adalah pertanyaan Hwon pada dirinya sendiri, tentang perasaan yang tak terbantahkan muncul dari hatinya. Wol menutup matanya, tak melirik sedikitpun pada minuman yang dituangkan Hwon untuknya.

“Semua makhluk pergi dan pergi lagi, tak pernah berhenti.
Aku menunggu apakah semua sudah pergi, tapi ada yang belum pergi.
Mereka pergi dan pergi lagi hingga saat akhir, tapi tak ada yang terakhir.
Maka aku bertanya pada mereka, kemanakah kalian pergi?”
(Cuplikan dari bait kedua puisi Hwadam Seo Kyung Deok : Relic)

Hwon tak mengerti. Walaupun ia mengerti arti puisi itu, ia tak mengerti apa yang Wol maksud dengan membacakan puisi tersebut.

“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?”

“Saya hanya ingin menyelesaikan bagian kedua (dari puisi itu). Dan karena malam ini adalah akhir dari takdir kita, maka ini adalah permintaan saya agar tak ada pertemuan berikutnya, Paduka.”

“Mengherankan ada seorang shaman yang mengerti puisi Hwadam..”

“Begitu pula seorang raja yang mengerti puisi Hwadam.”

(Catatan : Karya Hwadam adalah jenis sahak, bukannya jeonghak. Suatu karya yang seharusnya tak dipelajari oleh raja. Tak tahu beda antara sahak dan jeonghak. Mungkin seperti perbedaan ideologi)

Dan Wol melanjutkan, menyarankan Hwon untuk segera kembali karena hujan telah berhenti dan gelasnya sudah kosong. Tapi Hwon merasa terluka karena Wol menyuruhnya segera pergi. Bukan terluka oleh Wol, tapi lebih pada perpisahaan itu sendiri.

“Pergilah bersamaku. Saat pagi datang, pergilah bersamaku.”

“Saya ingin bertanya, konsekuensi apa yang akan menimpa pengawal Paduka jika paduka tak kembali saat ini juga.”

Wol benar. Karena Hwon diam-diam pergi meninggalkan wisma kerajaan untuk pergi ke desa, jika sesuatu terjadi, maka yang menangung akibatnya bukanlah Hwon tapi Woon. Dan seperti biasa, kesalahan Woon dikarenakan ia sebagai anak selirlah yang menjadi sasaran.

“Wol! Aku akan datang menemuimu lagi. Tunggulah aku.”

“Saya telah mengatakan jika malam ini adalah akhir dari takdir kita.”

“Dan aku juga telah mengatakan kalau malam ini adalah awal dari takdir kita.Dan karena aku tak bisa pergi begitu saja, aku harus membawa kenang-kenangan darimu.”

Saat Hwon mengatakan kenang-kenangan, Wol membuka matanya dan tersenyum sedih. Hwon gembira melihat senyum pertama yang diberikan Wol padanya,  dan ia pun duduk mendekati Wol. Wol menjawab, “Saya tak memiliki apapun. Saya hanya memiliki bulan di langit yang Paduka berikan pada saya sebagai sebuah nama.”

Hwon melihat ke bulan dan tersenyum, “Maka aku akan mengambil bulan itu, yaitu seluruh dirimu.”

“Anda tak seharusnya melakukan itu, Paduka. Saya mohon Paduka mempertimbangkannya kembali.”

“Tak ada yang tak mungkin aku lakukan! Aku akan mengikat perasaanku  pada bulan yang telah kau berikan padaku.”

“Tapi bisakah saya meminta kenang-kenangan dari Paduka?”

Wajah Hwon mendadak sumringah dan ia langsung menjawab, “Katakan apapun itu. Aku akan memberikan semuanya.”

“Saya mohon agar Paduka meninggalkan semua yang terjadi malam ini. Matikan semuanya.”

“Jika aku mematikan semua kenangan ini, apakah kau akan mengubur kenanganmu juga?

Betapa kejamnya dirimu! Betapa tak berhatinya dirimu! Kau mengundangku datang  sehingga aku masuk. Dan ketika aku tak mau pergi, kau malah menyuruhku keluar. Walaupun sekarang aku pergi, tapi takdir kita tak akan berakhir.”

“Ini adalah takdir yang tak berarti.”

“Pertemuan badan ini bukan hanya satu-satunya takdir. Pertemuan hati kita juga adalah takdir. Kau tadi mengatakan kalau kau tak akan berbohong. Jadi bisakah kau memungkiri kalau malam ini hati kita tak pernah bertemu?

Alasan mengapa aku tak mengambilmu malam ini karena aku menjaga perasaanmu, jadi jangan pernah mengatakan dirimu serendah itu. Walaupun status sosial seseorang yang mengerti literatur itu rendah, tapi tidak dengan kepribadiannya. Dan malam aku akan pergi dengan membawa bulanmu.”

Dan dengan kata-kata itu, Hwon bangkit dan keluar bersama Woon, meninggalkan Wol yang terduduk di ruangan. Setelah berjalan cukup jauh, Hwon berkata pada Woon, “Hatiku sakit dan aku tak sanggup melihat ke belakang. Tolong lihatkan untukku. Apakah Wol melihat kepergianku?”

Woon melihat ke belakang, walaupun ia tak yakin alasan melihatnya karena perintah raja atau keinginannya sendiri. Tapi di belakang mereka, hanya tatapan Seol yang mengantar kepergian mereka.

“Ia tak melihat.”

“Ya, ya. Dan itu membuat hatiku berkurang rasa sakitnya. Woon, aku tak pernah menyangka kalau cahaya bulan dapat sangat menyilaukan.”

Di ruangan, Wol yang duduk terpaku bertanya pada Seol,

“Seol, apakah kau melihatnya pergi?”

Sambil menangis, Seol menjawab, “Ya, ia pergi! Ia benar-benar pergi!”

“Apakah ia melihat ke belakang?”

“Tidak! Ia tak menoleh sedikitpun.”

Wol perlahan bergumam, “Ya, ya. Dan itu mengurangi kesedihan hatiku. Seol, aku tak pernah menyangka kalau cahaya bulan dapat sangat menyilaukan.”

“Kenapa kau tak mengantarnya keluar? Kenapa kau hanya duduk di sini?”

Wol tersenyum lembut dan berkata, “Karena hujan yang mengantarkannya telah menempel di rumput, di tanah dan di angin. Dan setiap kali air hujan menetes di jubahnya, air itu akan menembus ke dalam baju, sepatu dan topinya, membawa hatiku bersamanya dan mengantarkannya pulang ke wisma kerajaan.”