Sunday, January 22, 2012

Novel The Moon That Embraces The Sun Bab III


Sebenarnya, tugas Wol adalah menyerap energi jahat dari kamar Hwon yang mempengaruhi kesehatannya. Dan saat kesehatan Hwon sudah membaik, ia akan dapat menyempurnakan perkawinannya dengan Ratu di hari yang telah ditentukan oleh Kantor Astronomy sehingga menghasilkan keturunan laki-laki untuk menjadi pewaris tahta.

Namun kesehatan Hwon tak kunjung menunjukkan perbaikan, ia bahkan tak dapat duduk lama saat memimpin sidang tanpa kehabisan nafas. Ia hanya memeriksa satu atau dua dokumen setiap harinya, dan merasa cemas mengetahui mertuanya, Menteri Papyeong, dan pengikutnya yang memeriksa ratusan dokumen yang tersisa. Ini menandakan kalau Menteri Papyeonglah yang memerintah negara ini.

Perjalanan Hwon ke wisma kerajaan sebenarnya bertujuan untuk memperbaiki kesehatannya. Tapi bukannya kesehatan Hwon membaik, tapi malah semakin memburuk. Karena tabib kerajaan tak dapat mendiagnosa penyakitnya, banyak orang menduga kalau Raja diguna-guna. Dan memang sulit beranggapan Hwon normal jika ia selalu memandang bulan dan menghela nafas setiap malamnya.

Sebulan sejak pertemuannya dengan Wol telah berlalu, dan Hwon berseru gembira melihat bulan purnama lagi. Cukup keras hingga Woon yang berdiri di luar kamar mendengarnya. Hwon mendesah, “Bulan turun, menghilang kemudian datang kembali di hadapanku. Tapi bulan yang seharusnya kembali ke hadapanku tak kunjung datang.”

Melihat Woon hanya berdiri diam tak menjawab, Hwon mengulurkan tangannya ke luar jendela dan menarik jubah Woon.

“Lihatlah padaku. Jangan berdiri membelakangiku. Kau juga melihat bulan itu bersamaku. Atau kau tak melihatnya?”

Woon berbalik dan menjawab singkat, “Ya, saya melihatnya, Yang Mulia.”

“Jadi bagaimana? Apakah bulan itu juga melihatmu? Atau itu hanya sebuah ilusi?”

Kali ini Woon tak menjawab.

“Lancang sekali! Tahukah kau, di masa pemerintahan Raja Sejong, Pejabat Choi Howon dipenjara karena tak mau berbicara di hadapan Raja? Kau harusnya berterimakasih pada bintang keberuntunganmu karena aku adalah Raja yang murah hati. Jika raja lain, kau pasti akan dipenjara seumur hidup,” walaupun mendengar ‘ancaman’ Hwon, Woon tetap diam membisu.

Bersamaan dengan itu, seorang kasim masuk ke dalam kamar dan membawakan teh bunga matahari atas permintaan tabib istana dan kantor Astronomi. Seketika itu juga semerbak wangi bunga matahari memenuhi ruangan.

Hwon, yang mulai lelah meminum obat, melancarkan protesnya, “Bukankah Kantor Astronomi sedang mempersiapkan jimat penangkal? Aku sudah rajin meminum obat, haruskah aku juga meminum teh ini?”

“Harus, Yang Mulia, agar jimatnya lebih berkhasiat. Teh ini tak pahit seperti obat, bahkan baunya pun cukup wangi.”

“Woon, apakah bulan itu sedang sibuk? Bahkan dalam mimpi pun ia tak muncul.. Aku sendiri sangat aneh. Selalu terkenang pada seseorang yang hanya sebentar kutemui dalam gelap.. Benar-benar tak normal. Kalau aku merenungkannya lagi, sekarang aku dapat memahami perasaaannya saat itu.

Bagaimana mungkin ia dapat merindukan seorang pengelana yang sedang tersesat, yang ia berikan tempat berteduh dari hujan? Pasti sangat berat baginya untuk mengusirku karena aku seorang raja. Pasti dia sudah punya kekasih. Karena susah menolak seorang raja yang ingin membawanya pergi, maka ia langsung melarikan diri dengan kekasihnya keesokan harinya. Bukankah begitu, Woon?”

“Saya tak tahu, Yang Mulia.”

Hwon menjadi semakin yakin dengan kata-katanya sendiri. “Aku harus menyerah. Woon, sebelum aku menyerah, pergilah ke sana sekali lagi.”

“Ya, Yang Mulia.”

“Ah, tidak. Lupakan. Tak seharusnya aku menyuruhmu pergi ke sana berulang kali, nanti akan menimbulkan kecurigaan.”

“Ya, Yang Mulia.”

“Woon, jangan khawatir. Mulai sekarang, tak akan ada pembicaraan tentang bulan lagi… Tak seperti biasanya, bulan kelihatan sangat besar sekali.”

Setelah menghabiskan tehnya, Hwon merasa mengantuk. Tak sadar kalau perasaan itu dipengaruhi oleh teh yang diminum, Hwan naik ke atas ranjang, menyelinap di balik selimut dan langsung tertidur tanpa membolak-balikkan badannya seperti biasa.

Menduga ada yang tak beres, Woon membaui cawan teh yang telah kosong dan bertanya pada kasim yang bertugas, apa alasannya Raja harus ditidurkan? Kasim menjelaskan kalau ia diberitahu oleh kantor Astronomi kalau hal ini harus dilakukan agar jimat penangkal dapat bekerja secara efektif.

Lonceng malam telah berbunyi dan Woon memperhatikan ada ahli nujum kerajaan dan seorang wanita tertutup sseugae chima (kerudung) putih mendekat.

Tangan Woon hendak menarik pedangnya. Tapi semakin wanita itu mendekat, Woon merasakan sebuah perasaan yang berbeda. Dan akhirnya pengawal kerajaanlah yang menghentikan langkah kedua orang itu.

“Siapa kau yang berani mengenakan sseugae chima di dalam istana.”

Ahli nujum kerajaan perlahan menjawab, “Tak ada pilihan lain karena ini adalah satu-satunya cara. Ini bukanlah orang, tapi sebuah jimat.”

“Jimat? Bagiku, dia adalah seorang manusia.”

“Tak semua jimat penangkal harus tertulis di atas kertas. Dalam situasi khusus dimana kita tak mengetahui penyebab pastinya, jimat penangkal yang terbaik adalah seorang manusia.”

“Jadi apakah mungkin ia shaman..”

Woon mendekati mereka berdua, dan dengan pedangnya ia mengangkat sseugae chima dari wajah wanita itu. Dan ia pun tegang melihat wajah Wol yang menatapnya.

Sambil menarik sseugae chima-nya kembali dari pedang Woon, Wol berberkata dengan mata mengarah ke bulan, “Pemandangan awan yang menutupi bulan sangatlah indah.”

Sama seperti sebelummya, suaranya menggetarkan hati Woon sehingga genggaman pedangnya menguat. Woon mengerti kata-kata itu ditujukan padanya dan merupakan permintaan Wol agar merahasiakan hal ini pada Raja. Ketika Wol lewat, tercium wangi bunga anggrek darinya.

Wol diantarkan oleh dua dayang dan diperiksa untuk meyakinkan kalau Wol tak membawa senjata yang dapat melukai Raja. Kemudian kasim mengantarkannya ke dalam kamar. Setelah di dalam kamar, ia menundukkan kepalanya agar tak melihat raja secara langsung (sebuah kejahatan besar jika melihat wajah Raja langsung tanpa seijinnya) kemudian ia berjalan mendekati tempat Hwon terlelap. Wol pun duduk di dekatnya.

Setelah Wol menempatkan diri, kasim dan para dayang menuju ruang sebelah dengan pintu penghubung tetap terbuka. Woon kemudian memasuki kamar raja namun duduk di tempat yang jauh dari Hwon dan Wol.

Setelah semua mata tak lagi tertuju padanya, diam-diam Wol memandang Hwon. Ia memperhatikan tangan lembutnya, selimut sutra yang naik turun seiring dengan nafasnya, baju tidurnya yang putih dan wajahnya yang terlelap.

Dari kejauhan, Woon pun memperhatikan Wol. Dari baju berkabungnya yang putih, tangan halus yang dengan lembut ia letakkan di atas lutut, leher putihnya yang jenjang, kemudian Woon melihat lebih atas lagi ke bibir dan hidungnya. Dan akhirnya pada mata Wol yang tak lepas menatap, tatapannya hanya kepada Raja.

No comments:

Post a Comment