Sunday, February 26, 2012

Novel The Moon That Embraces the Sun - Bab 6



HUwf,...
untuk beberapa lama aku sudah mengabaikan blog ini sehingga aKu tidak menyajikan postingan terbaruku, maav ya,...


Untuk menebusnya aku memposting Novel The Moon That Embraces the Sun - Bab 6, selamat menikmati...

...........



Ketika Hwon minum bersama Yeom, wajahnya menegang mengingat kenangan akan hari-hari yang telah berlalu.

Tujuh tahun dan enam bulan yang lalu, Pangeran Hwon sangat bosan dengan rutinitas yang ia jalani, dan menemukan kesenangan dengan mengerjai guru-gurunya. Sampai suatu ketika salah seorang gurunya mengundurkan diri karena tak tahan dengan tekanan yang ia alami saat mengajar Hwon dan pindah ke desa. Seorang guru baru dipilih secara langsung oleh raja untuk mengajari Hwon.

Hwon sangat ingin mengetahui siapa target terbarunya dan menyuruh seorang pegawai rendahan untuk memeriksa latar belakangnya. Namun pegawai itu ragu-ragu melaporkan temuannya.
“Mengapa kau tak mengatakan sedikitupun? Apa kau tak mampu menemukan siapa yang akan datang?”

“Bukan itu, tapi..”

“Katakan! Siapa dia?”

Setelah menimbang cukup lama, pegawai itu menjelaskan, “Ia adalah seorang pemuda bernama Heo Yeom, dan baru-baru ini ia menjadi lulusan dengan nilai terbaik di ujian penerimaan pegawai negeri.”

Hwon sangat terkejut. Hal ini benar-benar sebuah kenaikan pangkat yang drastis untuk seorang yang baru lulus untuk dipromosikan ke golongan pegawai yang memiliki tanggung jawab mengajar seorang Putra Mahkota.

“Apakah kau mengetahui hal yang lainnya?”

“Ada.. usianya..”

“Usia? Berapa tahun usia pemuda, si Heo Yeom ini?”

“Tahun ini ia berusia 17 tahun.”

Hwon berteriak marah, “Jika ia berusia 17 tahun, ia hanya satu tahun lebih tua dariku!”

Kebanyakan guru Hwon berusia antara 30-an sampai 40-an. Harga diri Hwon terluka memikirkan kalau ia akan diajar oleh seseorang yang setahun lebih tua darinya. Tapi ia juga ingin tahu. Orang yang lolos ujian pegawai negeri biasanya berusia sekitar 25 tahun, bahkan kadang-kadang 40 tahun. Mampu lulus ujian pada usia 17 tahun, bahkan menjadi lulusan terbaik, membuktikan kalau si Heo Yeom ini adalah seorang yang jenius. Maka Hwon menunggu-nunggu kelas perdananya dengan Yeom, walaupun ia juga bertekad untuk menendangnya pada hari-hari pertamanya.

Hari pertama, Hwon sudah berencana untuk tak mau bangkit dari kursi dan tak mau membungkuk hormat untuk menyambut gurunya, begitulah tata krama yang seharusnya ia tunjukkan pada gurunya. Hanya saja, saat melihat wajah Yeom yang duduk di hadapannya, ia melongo melihat keindahan yang terpampang di depannya. Sangat terpana sehingga ia melupakan sejenak niatnya untuk menendang Yeom keluar. Tapi setelah akal sehat Hwon kembali, ia kembali duduk seenaknya dan topinya pun terpasang miring di kepalanya.

Tapi reaksi Yeom sama sekali berbeda dengan guru-guru lainnya. Tak peduli berapa lama Hwon menunggu, Yeom tak pernah menegurnya untuk duduk yang benar atau menyuruhnya untuk menghormati guru. Yeom malah duduk tegak dan tersenyum lembut tanpa mengatakan satu patah kata. Hwon jadi capek duduk miring, punggung dan lengannya mulai terasa linu. Tapi Hwon terlalu keras kepala dan tak mau bergerak lebih dulu. Akhirnya 45 menit telah berlalu dan bel berbunyi menandakan kalau pelajaran telah selesai. Begitu bel berbunyi, Yeom tersenyum dan beranjak pergi, dan sekali lagi, tanpa sepatah kata.

Hwon merasa geli. Semua gurunya yang terdahulu selalu cemas ketika mengajari Putra Mahkota yang seharusnya menunjukkan perilaku sopan pada guru, sehingga selalu jatuh pada perangkapnya. Tapi Yeom adalah guru pertama yang hanya duduk dan tersenyum. Dan ini terus berlanjut dari hari ke hari.

Hwon jadi bosan dan juga ingin tahu bagaimana suara Yeom. Jadi setelah beberapa hari dengan perang diam, Hwon akhirnya membungkuk hormat 3 kali pada Yeom sebagai guru dan duduk tegak di hadapannya. Tapi hal ini bukan karena Hwon benar-benar menerima Yeom sebagai gurunya. Tapi karena ia sekarang akan menyerang dengan taktik yang berbeda.

Hwon sedang mempelajari Zhongyong (Kitab Tengah Sempurna) dengan guru terdahulunya sampai Yeom menggantikannya. Maka Hwon mempersiapkan diri terlebih dahulu untuk melindas Yeom. Namun di kelas pertama mereka, sesuatu yang tak diharapkan terjadi. Bukannya mengajar Zhongyong, Yeom memberitahu kalau mereka akan mempelajari Kitab Ribuan Huruf, sebuah buku dasar untuk mengajarkan huruf-huruf China pada anak-anak dan pemula. Hwong sangat tercengang. Tapi sebelum Hwon sempat berteriak marah, Yeom telah meminta pustakawan untuk membawakan buku Kitab Ribuan Huruf.

Setelah Hwon pulih dari keterkejutannya, ia berteriak, “Beraninya kau! Aku sekarang sedang mempelajari Zhongyong dan Zizhi Tongjian (Arti secara harafiah: Cermin Komprehensif untuk Membantu Pemerintah). Tapi kau malah mengajarkan Kitab Ribuan Huruf?”

Tak seperti Hwon, Yeom berkata kalem, senyum lembutnya tak pernah hilang, “Yang Mulia, Saya tak pernah mengajar orang lain sebelumnya. Dan ketika saya diperintahkan untuk mengemban tugas ini, saya menolaknya. Tapi Baginda Raja menyuruh saya untuk mengajarkan apa yang saya pelajari.”

“Tapi kenapa harus Kitab Ribuan Huruf?”

“Buku yang dipelajari untuk pemula adalah Kitab Ribuan Huruf. Tapi sebelum mempelajari buku apapun, langkah pertama adalah sikap belajar. Yang Mulia telah berhasil menguasai sikap itu dalam beberapa hari yang lalu, dan langkah berikutnya adalah Kitab Ribuan Huruf. Saya melakukan ini karena begitulah yang diajarkan pada saya.”

Hwon sangat marah. Tapi ia tak dapat memikirkan kata-kata yang tepat untuk membalasnya. Sementara itu, pustakawan telah kembali dengan buku tersebut yang sekarang berada di atas meja.

Yeom membuka buku dan membaca, “天地玄黃.”

Tapi mulut Hwon terkunci rapat dan memandang Yeom dengan marah.

“Yang Mulia, katanya Anda telah menguasai huruf-huruf Cina ini. Kalau begitu, apakah 天?”

“Artinya langit!”

“Kalau begitu, apa artinya langit?”

Hwon tak siap menjawab. Pertanyaan Hwon sangat mendadak, sehingga Hwon sulit menjelaskan definisi langit.

“Anda mengatakan kalau sedang mempelajar Zhongyong. Jadi, apa arti langit menurut Zhongyong?”

Hwon tahu kalau ia telah mempelajarinya, tapi ia tak dapat menjawab. Yeom akhirnya berbicara.

“Dikatakan kalau langit adalah sumber kebenaran/pencerahan. Apa yang langit telah takdirkan disebut 性 (alam), dan yang bertindak seperti alam adalah 道 (prinsip), dan yang menjadikan sebuah prinsip adalah pembelajaran/pendidikan. Jadi ketika tengah/tidak menyimpang (中/Zhong) bertemu dengan keselarasan (和), langit dan bumi akan mendapat  tempat yang tepat, dengan demikian semua hal di dunia ini akan terpelihara dengan baik.”

Hwon menyadari kalau ia tak hanya belum menguasai huruf pertama ‘langit’ yang muncul di Kitab Ribuan Huruf, tapi ia juga sepenuhnya belum memahami Zhongyong . Ia membalas dengan serangan kecil.

“Jadi menurutmu apa itu langit dan bumi?”

“Pertanyaan itu bukan ditujukan pada saya, tapi untuk Yang Mulia cari melalui pelajaran yang didapat dari kitab-kitab tersebut.”

“Jadi kau tak dapat menjelaskannya?”

Yeom tersenyum saat mengangguk, “Saya juga masih membaca kitab-kitab itu sehingga saya dapat mempelajarinya. Menurut Liezi, energi yang murni dan cemerlang akan bangkit menjadi langit, sedangkan yang berat dan tak murni akan jatuh ke bumi. Keselarasan dari bumi dan langit adalah manusia. Jiwa manusia diterima oleh langit, dan tubuhnya akan masuk ke bumi."

Ini pertama kalinya Hwon mempelajari Liezi. Ia menyadari kalau ia sangat tertarik dengan ajaran Yeom.

“Begitukah? Jadi karena itu saat manusia mati, jiwanya ke surga dan tubuhnya ke bumi?”

Yeom tersenyum cerah, “Apa yang Paduka katakan juga dikatakan oleh Liezi.”

“Hmm… Aku harus mencari buku itu dan membacanya.”

Tanpa mereka sadari, 45 menit telah berlalu. Hwon telah melupakan niatnya untuk menyiksa Yeom bahkan malah menemukan keasyikan dalam pelajaran rutinnya. Hampir semua yang keluar dari mulut Yeom adalah sesuatu yang baru baginya, bahkan sesuatu yang Hwon sudah ketahui terasa baru baginya.

Adalah keinginan Hwon untuk mengalahkan Yeom, padahal banyak hal yang masih belum dikuasainya. Dengan tujuan baru yaitu untuk mengalahkan Yeom walaupun hanya sekali saja, setiap hari Hwon belajar keras. Saat ia belajar Kitab Ribuan Huruf bersama Yeom, ia juga mempelajari ajaran dari kitab lain. Dengan begitu, Hwon mulai menyukai gurunya yang belum pernah ia rasakan dengan guru-guru sebelumnya.

Waktu di kelas terasa sangat singkat bagi Hwon, jadi ketika Yeom beranjak bangun, Hwon selalu meminta Yeom untuk tinggal lebih lama untuk makan malam bersama. Tapi melihat Yeom selalu pulang lebih awal setiap malam, membuat Hwon terluka dan suatu hari bertanya, “Aku masih ingin bermain denganmu, tapi kenapa kau tak mau tinggal lebih lama?”

Yeom menjelaskan dengan minta maaf, “Walaupun itu juga merupakan tugas saya, saya yang masih muda, merasa sukar tinggal di istana lebih lama. Lagipula .. “

“Lagipula? Masih ada alasan yang lain?”

“Saya mempunyai adik perempuan. Karenanya..”

“Tapi kau masih memiliki orang tua. Tak seharusnya kau yang menjaga adikmu.”

“Bukan seperti itu, tapi saya ingin menghabiskan waktu bersamanya.”

Hwon mengernyit memikirkan kalau ia harus menghabiskan waktu bersama adiknya. Hwon berpikir kalau Yeom itu aneh, tapi wajah Yeom cerah ketika membicarakan adiknya.

“Saya menyukai kegiatan membaca dengan adik saya.”

“Membaca bersama? Adikmu membaca buku? Bersamamu?”

“Ya, Yang Mulia. Walaupun saya mengajarinya ...”

“Bukankah kau dulu bilang kalau aku adalah orang pertama yang kau ajari?”

Yeom nampak tersipu malu dan ragu-ragu menjelaskan, “Anak ini berbeda. Walaupun saya mengajarinya, tapi saya malah belajar darinya.”

“Berapa umurnya?”

“Ia 3 tahun lebih muda dari saya, dan berumur 14 tahun.”

“Artinya ia 2 tahun lebih muda dariku. Bahkan seorang jenius sepertimu belajar darinya? Apa maksudmu?”

“Biasanya, kata orang, kalau kau mengajari seseorang satu hal, ia akan memahami sepuluh. Tapi ketika aku mengajarinya satu hal, ia mengembalikan dengan sepuluh pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaannya, saya belajar lebih banyak lagi. Dan saya menikmatinya. Adik saya adalah guru terpenting dalam hidup saya.”

Tak peduli bagaimana Hwon memikirkannya, Hwon sangat terkesima mendengar ada seorang gadis yang membaca dan belajar.

“Aku juga mempunya seorang adik. Putri Minhwa… Walaupun kau mungkin tak pernah bertemu dengannya, kau pasti pernah mendengarnya.”

“Ah! Saya pernah melihatnya. Beberapa waktu yang lalu, tepat berada di hadapan saya. Walaupun saya tak dapat melihat wajahnya.”

“Begitu, ya? Bagaimanapun juga, Putri Minhwa tiga tahun lebih muda dariku, tapi ia sangat manja dan bertingkah semaunya. Huruf yang ia ketahui hanya kalimat pertama dari Kitab Ribuan Huruf. Bagaimana mungkin  seorang gadis berusia 13 dan 14 tahun bisa amat sangat berbeda?”

Tiba-tiba, mereka mendengar suara tangis seorang gadis, dan sebelum mereka sadar, Putri Minhwa menyeruak masuk ke ruangan mereka dengan memakai pakaian pelayan.

Hwon berteriak, “Baju apa yang kau pakai? Dan beraninya kau masuk kemari!”

Bersimbah air mata, ia mendekati Hwon dan mulai memukulinya.

“Aku benci padamu, Orabeoni! Aku benci padamu!” (Orabeoni adalah panggilan Oppa/Kakak/Mas dalam bahasa Korea kuno)

“Kenapa sih kau ini?”

“Kau menjelek-jelekkan aku! Dari sekian banyak orang, kenapa kau menjelek-jelekkan aku di hadapannya? Aku benci padamu! Aku benci padamu! Aku benci padamu!”

Walaupun Hwon berteriak-teriak marah, tapi Minhwa tetap memukuli Hwon. Nyonya Min akhirnya masuk untuk menjemput majikannya, tapi dengan cepat Minhwa mendekati Yeom. Karena melanggar hukum jika Yeom melihat langsung wajah anggota kerajaan tanpa ijin, Yeom langsung menundukkan kepalanya. Tapi Minhwa meraih wajahnya dan memaksanya untuk melihat padanya.

“Tidak benar! Apa yang Yang Mulia katakan tadi semuanya tidak benar. Aku tidak manja, tapi wanita yang lembut. Aku hampir mempelajari semua ribuan huruf itu. Dan juga..”

Sebelum Minhwa sempat menyelesaikan kalimatnya, para dayang telah menyeretnya pergi.

Hwon dan Yeom duduk tercengang melihat semua yang telah terjadi. Akhirnya Hwon memecah keheningan dengan bertanya pada kasim yang bertugas. “Ada apa dengannya? Darimana ia bisa mendapatkan baju pelayan dan kenapa ia datang kemari? Benar-benar kekanak-kanakkan!”

Kasim itu hanya diam dan melihat Yeom sambil tersenyum. Karena gangguan dari Minhwa, mereka tak meneruskan pembicaraan tentang adik Yeom.

Tapi beberapa hari kemudian, pembicaraan itu muncul kembali. Sebelum kelas dimulai makanan kecil yang dipercaya dapat membantu Putra Mahkota untuk tidak ngantuk di dalam kelas selalu dipersiapkan bagi Hwon. Hari itu, yeot hitam (permen kunyah) yang diimpor dari China adalah menu makanan kecil Hwon. Hwon menyimpannya untuk kemudian dibagikan pada Yeom, tapi Yeom hanya memandanginya.


“Kenapa kau tak makan? Apakah kau tak menyukainya?”


“Bukan begitu .. Tapi saya hanya berpikir kalau adik saya pasti menyukainya.”


“Ah! Adik yang banyak bertanya? Sepertinya kau mengagumi adikmu. Apakah itu tak sedikit berlebihan?”


Yeom hanya tersenyum. Melihat senyum indah Yeom, Hwon menjadi penasaran dengan adiknya.


“Apakah ia mirip denganmu? Jika iya, ia pasti sangat cantik.”


Yeom hanya tersenyum, tapi melihat senyumnya Hwon menyadari kalau ia dapat merasakan  pesona adiknya juga. Seolah-olah pernah melihatnya, hati Hwon mulai berdebar-debar.


“Siapakah nama adikmu?”


“Apa? Maaf tapi saya tak dapat memberitahukannya, Yang Mulia. Ia bahkan belum memakai dangho.” (*sangat tak pantas untuk memanggil seorang wanita bangsawan dengan nama kecilnya, walaupun ia masih muda. Sudah aturannya untuk memanggil wanita itu dengan danghonya (nama bangsawan). Terlebih lagi, tak mungkin seorang gadis dipanggil dengan nama kecil di depan seorang putra mahkota.)
“Aku hanya menanyakan namanya, memang apa masalahnya? Karena nama keluargamu adalah Heo, nama keluarganya pasti juga Heo.  Dan namanya adalah..”


Yeom menutup mulutnya rapat-rapat dan menolak mengatakan apapun. Tapi Hwon semakin penasaran setengah mati sehingga ia mengancam Yeom.


“Hmmff! Jika aku mau, aku dapat mencari tahu nama adikmu dengan cara lain. Tapi bukankah itu akan menimbulkan masalah yang lebih besar?”


“Yeonwoo.. namanya adalah Yeonwoo.”


“Yeonwoo.. seperti hujan gerimis?”


“Ya, Yang Mulia. Ia menggunakan huruf-huruf Cina.”


“Yeonwo..”


Berulang kali Hwon mengulang nama itu di kepalanya, lagi dan lagi dan berpikir, “Nama yang cantik sekali. Aku dapat membayangkan ia pasti berwajah cantik juga. Kuharap aku dapat menemuinya walau hanya sekali.”


Ketika Yeom bersiap untuk mulai mengajar, Hwon berbisik pada kasim yang berdiri di sebelahnya. Kasim itu meninggalkan ruangan dan kembali lagi saat kelas usai dengan membawa bungkusan kecil untuk Yeom. Yeom memandang Hwon penuh tanya, dan Hwon menjelaskan, “Karena kau tak mau memakannya, aku sudah menyiapkan yeot hitam. Nikmatilah bersama adikmu.”


Saat itu, bukan hanya Hwon yang memberikan yeot, Yeom yang menerimanya pun membawanya pulang tanpa banyak pikran. Tapi kemudian, malam harinya, Hwon merasa aneh ketika menyadari kalau dirinya, Putra Mahkota kerajaan ini, telah memberikan hadiah pada seorang wanita. Terlebih lagi, mereka berdua sama-sama belum menikah. Karena penasaran setengah mati ingin tahu reaksi Yeonwoo pada hadiahnya, Hwon tak dapat memejamkan mata malam itu. Hwon menghabiskan malam dengan memikirkan seorang gadis yang wajahnya sama sekali  belum pernah ia lihat.

No comments:

Post a Comment